Tulisan, Sebuah Pujian Yang Membangun dan Kritik yang Melenakan

Selalu ada pergantian, bukan sekedar bilangan masa yang angkanya terus berubah. Seperti tahun ini yang dalam hitungan waktu akan berganti angka. Tetapi lebih dari persoalan angka, ada beda dalam pola dari sebuah alur kehidupan.

Zaman old, sebuah tulisan dikunci rapat dalam sebuah buku bernama diary. Iya, aku salah satu usernya.
Zaman now, sebuah tulisan melayang indah dalam udara dengan radar yang kerumitannya tak aku mengerti,  tetapi bisa dengan begitu leluasa terpublish mudah. Lagi, aku adalah satu satu usernya.

Pergeseran zaman lalu menggeser kebiasaan? Dalam konteks ini, aku tak ingin berbicara benar dan salah. Mereka yang mengumbar aksara, memang ingin mendapatkan pembaca. Fiks, aku pun begitu. Oke lupakan "menginspirasi" jika itu kosakata yang teranggap alibi, toh level itu jauh sekali tingkatan yang harus dilalui. Aku akui ada harap dalam layangan aksara itu, mendapatkan pembaca. Terlebih, aku memang menaruh asa pada sebuah tulisan, memiliki karya dengan jalan meracik aksara. 

Zaman now, media memang hiburan yang mengasyikan. Aku pun merasakan. Tapi omong - omong, melayangkan tulisan di jagat maya itu untuk mencari perhatian atau gila pujian, Res? Malam itu, ku habiskan bermonolog mesra dengan diriku.

" Iya, aku mencari perhatian". Ku jawab dengan jujur. Aku ingin menjadi seorang penulis, puluhan kali aku ditolak penerbit. Sempat membuatku berhenti dan malas meneruskan revisi. Jika setidaknya aku so-so- an menjadi penulis di jagat maya, salahkah? Lupakan nasib mujur penulis kenamaan yang merintis karir kepenulisannya karena viral tulisan didunia maya. Lupakan, aku tidak berfikir sejauh itu. Jika iya, mungkin blog ini akan ku isi penuh dengan tulisan per-modulan, karena statistik laman ini, modus terbesar dalam postingan disini adalah tulisan per-modulan- yang mungkin bisa untuk sekedar copy- paste pertugasan, tidak seperti tulisan ini yang ngalor- ngidul tidak karuan.

" Terus, kenapa tidak kembali menulis dalam diary?" Oh aku masih sesekali menulis dalam buku itu, meski bentuknya tak lagi seperti diary yang dulu memiliki kunci. Yah aku masih menuangkan disana, prihal apa yang ku sebut privasi. Disana, cukup aku yang tahu.

Soal pujian, duh maafkan. Aku tegaskan perut tidak akan kenyang dengan kalimat pujian. Terserah jika dunia melabeli mereka yang kerap melayangkan aksara -seperti aku- tersebut gila pujian. Aku tak peduli, dan akan mudah ku abaikan. Tapi by the way, sebuah teorema mengatakan, "Pujian itu melenakan, dan kritik itu membangun" tetapi di dunia terbalik, teorema pun bisa berganti "Pujian itu membangun, dan kritik itu melenakan" lho kok bisa? karena sekali lagi dalam konteks realita prihal demikian, benar dan salah adalah relatif.

Iya, aku teringat. Sekelumit episode lama tentang tulisan dan sebuah pujian. Jadi tulisan tanganku bisa tergolong tulisan calon dokter gagal, kalau tidak ingin dikatan sebagai tulisan tangan dengan kategori sangat jelek. Ini beneran, aku sendiri masih shock jika membuka lembaran kertas usang yang satu- dua lembar masih bisa ku temukan, nyatanya tulisan tanganku memang begitu jelek, aku sendiri kerepotan membaca ulang. Tapi, aku pernah menemukan semangat untuk merapihkan tulisan, berkat satu pujian seorang teman, " Resti, tulisan kamu tuh bakalan bagus kalau kamunya merapih - rapih tulisan" untuk menunjukkan keseriusan kalimatnya dia bahkan mengizinkan aku menulis tugas merangkum itu dibuku tulisnya. Karena itu, aku menjadi yakin bahwa itu bukan sebuah kalimat peres, karena saat itu aku, bahkan mungkin yang lain bisa sepakat bahwa tulisanku termasuk yang mengkhawatirkan. Ini benar adanya, dalam satu mapel B. Arab, aku dan beberapa murid  yang rata- rata lelaki diberi tugas khusus untuk menulis dibuku yang menurut kesimpulanku ini karena tulisan yang mengkhawatirkan tadi. Namun, karena ujaran yang menurutku pujian itu, akhirnya mampu membuka mataku untuk setidaknya berbenah, berkat lontaran yang ku anggap pujian itu, lambat laun aku mengukir tulisan serapih mungkin dan bisa terbebas dari tugas khusus tadi. Iya, sebuah pujian yang membangun dan tidak melenakan.

Prihal kritikan yang melenakan, pernah pula ku rasakan. Aku pernah mendapat kritikan yang rasanya ( ralat, bukan karena sebatas rasa, tetapi fakta yang memang tidak ku lakukan) aku akhirnya malah terlena, menyengaja diri seperti apa yang ia kritik. Fiks, itu bukan kritikan yang membangun tapi melenakan. So, apapun yang dilontarkan dari luar, kembali kepada kita sebagai pengendali diri yang menentukan. Terlena atau terbangun?

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 komentar

komentar
2 Desember 2017 pukul 19.07 delete

Suka dengan sudut padangnya. Anti mainstream mungkin kalo kata anak sekarang. Melawan arus. Tapi memanh benar, meski tak sepakat seutuhnya.

Saat SMP, bulek saya pernah berujar sesuatu yang sangat sederhana. "Eh, pinter loh ngupas mangganya," Dan sejak saat itu, saya sangat senang mengupas buah yang bernama mangga.

Kesimpulannya juga apik. Pada akhirnya, kitalah yang menentukan. Pujian atau kritikan, cara kita menyikapilah penentunya.

Salam kenal.

Reply
avatar
2 Desember 2017 pukul 19.42 delete

Iya, contoh sederhana yang sama percis dengan analogiku tadi..
Benar, pada akhirnya kembali kepada kita untuk menyikapinya..
Salam kenal juga mas,salam literasi

Reply
avatar