Kuda Mesin dan Sebuah Keresahan

Pada zaman dulu, saat kuda mesin belum merajai jalanan, otomatis sebagian kids zaman old menjadi customer angkot. Namun alternatif menjadi cust angkot tak selamanya ternikmati karena satu dua hal apalagi bisa memiliki alternatif seperti kids zaman now yang memiliki pilihan lain selain menjadi cust angkot, gojek online.

Seperti pada satu moment tertentu, saat mengikuti agenda leadership Camp yang diselenggarakan oleh KAMMI *nostalgiaModeOn
Otomatis objek tempat adalah daerah terpencil tepatnya di kaki Gunung Cikuray dan sulit menemukan sarana transportasi, mungkin kali itu time is olahraga, jalan kaki kuy....

Ngah-ngeh-ngoh jadi ritme  yang mengikuti irama kaki. Sempat dapat tawaran pinjaman motor, hanya sayang kali itu baru bisa menaiki saja tanpa bisa mengemudi. Saat keahlian itu belum juga termiliki. Hal - hal serupa ini sering kali dirasakan, sampai pernah salah seorang teman berujar, " ngah- ngeh- ngohna akhawat dalam safari dakwah adalah godaan ikhwan, karena bawaannya pengen ngehalalin"

Semangat belajar ngedrive itu pun dihidupkan, yang penting bisa aja dulu. Memiliki motornya bisa menyusul. Tapi kemudian saat
kemandirian akhawat semakin terasah lebih dari sekedar bisa mengemudikan sebuah kuda besi, suara resah itu terdengar.

"Semakin akhawat mandiri, semakin resah ikhwan dan dirundung keragu-raguan untuk melangkah dan kemudian memperpanjang penantian akhawat", kira - kira pernyataan tadi, benar apa betul?

Lain waktu, saat diskusi lepas dengan seorang yang berkecimpung dalam penelitian, mengatakan fenomena sosial hari ini saat isu  emansipasi didengungkan, geliat wanita dalam meniti karier menemukan muaranya. Dada saya sesak saat beliau menuturkan bahwa dibalik meng- kota-nya sebuah desa dari  proses industrialisasi ada angka perceraian yang semakin meningkat. Berbagai faktor melatarbelakanginya, salah satunya pendapatan istri yang lebih tinggi hingga tak ada lagi kepatuhan kepada suami. 

Sampai titik itu, akal saya sampai detik ini masih mencari "harus seperti apa menyikapi  antara idealita dan realita?" Karena cermin diri itu tahu persis kaliber diri, ada kesenjangan jauh dengan Khadijah wanita kaya yang penuh iman dan rendah hati. Jalan tengah yang harus elegan menyikapi fenomena sosial dalam kondisi zaman now. Benar, akhawat bukanlah tulang punggung melainkan tulang rusuk, hanya saja ketika pilihan untuk "sedekah keluarga" itu terpilih adalah catatan bahwa kepala bahtera dalam sebuah dermaga keluarga tak pernah akan terganti.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »