Aku adalah seorang penghuni terakhir yang kerap kali ketar - ketir dan kemudian banting setir dalam episode beranjak diatas kaki sendiri.
Iya, seorang bungsu. Kemudian deretan sifat yang melekat padanya, sering kali pula tersematkan padaku.
Manja, kosa kata umum yang acap kali penghuni terakhir dapatkan. Ku kira benar adanya. Hanya aku terbiasa belajar untuk menempatkan sesuai tempatnya. Manja yang berkeadilan, bukan manja - manja cantik ala princess.
Aku terbiasa dididik dalam keluarga yang sangat menghargai perjuangan, selalu ku dapatkan sedari aku yang dulu bocah - bocah imut nan menggemaskan terbiasa untuk berjuang terlebih dahulu sebelum terkabul keinginan oleh orangtua.
"De, kalau mau maen di timezone puasanya harus tamat yah sampe maghrib" iming - iming bapak saat usiaku empat tahunan..
"De, kamu mau sepatu buricak- burinong (sepatu yang menyala - nyala, anak kids zaman old pasti ngerti sepatu yang dimaksud ini), kamu harus nabung, nabungnya dari uang jajan yang ibu kasih. Bukan minta bekal tambahan sebagai uang jajan" petuah ibu. Oia, waktu itu kids zaman old sering bermain uji kekayaan dengan memperlihatkan buku tabungan yang dimilikinya. Sedari kelas 3 SD sampe kelas 6 SD, buku tabunganku selalu menduduki kursi paling bontot dengan saldo terrendah. Tapi, aku tak pernah hilang kebanggaan dengan saldo terrendah tersebut, iya itu karena jerih payuhku menyisihkan uang jajan yang kumiliki. Bukan uang tambahan dari orangtua sebagai tabungan.
Lambat laun, waktu pun bergegas laksana cahaya yang memiliki kecepatan bak kilat. Si penghuni terakhir itu, kini telah memasuki kepala dua. Usia yang pantas dikatakan dewasa. Tapi aku berkali gagal mengambil kesempatan untuk hijrah, hijrah dalam perantauan.
Pertama saat aku menanggalkan bangku putih - abu, dalam bayangku aku bisa menjadi seorang mahasiswi di salah satu kota metropolitan. Tetapi takdir membawaku sebagai seorang mahasiswi dari sebuah kampus swasta di kota kelahiranku. Bukan, bukan karena aku gagal seleksi SNPTN karena memang aku tak pernah sekalipun mendaftarkan diri pada pintu yang terminati oleh seluruh siswa seantero negeri. Sedari awal aku memegang keyakinan bahwa jalan sukses tak selalu melewati pintu PTN. Dulu, incaranku hidup sebagai mahasiswi perantauan adalah sebagai mahasiswi di Al - Azhar Cairo, Lipia atau alternatif terakhir SEBI. Cairo, Lipia dengan sendirinya mengeliminasiku sebelum aku bertarung karena logika yang melakukan perhitungan memiliki peluang kecil. Terakhir SEBI. untuk yang satu itu, aku fight mulai dari test tulis sampai wawancara. Alla kulli hal, aku memang tertakdirkan untuk tidak meninggalkan Garut.
Episode gagal rantau berikutnya adalah pasca kelulusanku sebagai seorang diploma. Lumrah adanya jika telah sampai pada pintu kelulusan meski bukan sarjana, setiap orang akan memasuki episode untuk melewati fase pertanyaan, "Kerja dimana?" .
Lagi - lagi untuk perantauan, mulai dari rencana kerja yang sebatas kontrak bulanan di Kota Cirebon sampe rencana kerja menetap di Bandung yang jaraknya tidak terlampau jauh dari Garut, ada saja yang mengganjal dan membatalkan sketsa rencana untuk belajar mandiri di perantuan jika restu orangtua itu tak sepenuhnya aku kantongi.
Tentang hijrah beranjak diatas kaki sendiri dalam perantauan memang sebenar - benar episode memandirikan diri yang selalu gagal aku jalankan. Ada yang berceloteh bahwa aku terlampau nyaman dan tidak bisa hidup mandiri untuk jauh dari orangtua. Padahal aku sangat ingin merasakan atmosfer itu, tapi restu orangtua selalu yang utama. Orangtuaku mungkin terlampau sayang dan tidak ingin melepaskan anak gadisnya yang senantiasa meramaikan rumah, eeeaaa.
Berbekal nekad pun untuk mengambil keputusan merantau, pada akhirnya ada saja halangan yang kemudian membatalkan pilihanku untuk merantau hijrah dari kota kelahiran. Memang benar, Garut itu selalu menggurat, membawa insan untuk selalu gagal move on dari tanah priyangan yang terkenal sebagai swiss van java.
Lain kesempatan, aku yang masih tak kehilangan ciri khas seorang bungsu yang selalu dimanja dan dikhawatirkan. Dalam episodeku sebagai mahasiswa kelas karyawan dan tinggal di suatu daerah yang masih menjungjung tinggi adab ketimuran. Satu pointnya, tentang jam malam. Entah sudah berapa kali aku menjelaskan, aku bisa dan "ludeng" (read: berani) untuk membawa kendaraan si biru kuda besiku sendiri dan agar tidak terlalu khawatir mencemaskanku berkendaraan di malam hari, aku meyakinkan bahwa hari ini jalanan tengah malam selalu ramai.
"De, bapak baru mau pensiun antar- jemput kamu, kalau sudah bersuami"
Itu jawaban yang paling makjleb banget, skatmate. Aku buntu untuk memenangkan argumentku tadi.
Aku si penghuni terakhir itu akan terus menyusuri lorong waktu ke depan, berdamai dan belajar dari masa yang terus ditinggalkan untuk semakin percaya bahwa selalu ada kesempatan untuk terus mendewasa. Bahkan aku memang akan selalu menjadi seorang anak meski telah memiliki nobat baru sebagai seorang istri.