Episode Kontemplasi dan Kontroversi Hari Ibu

Satu grup online yang aku kuti mendadak ramai, gegara diskusi pro dan kontra selamat hari ibu. Mulai dari yang membolehkan sampai yang melarang bahkan mengk*f*rk*n, aku cuma silder aja disana. Aku pribadi hari ini gak mengucapkan baik secara lisan dan tulisan yang ditujukan langsung ke beliau. Alasannya simpel, gak biasa. Yang udah - udah juga gitu. Prihal tulisan kemarin tertanggal 21 Desember 2017 itu karena mengikuti challenge dari komunitas menulis yang diikuti, sekaligus refleksi sih.
.
Tapi gak berarti melarang juga, aku pribadi sih sah - sah saja. Karena memang beberapa diantara kita seperti butuh moment khusus untuk sedikitnya mengambil kesempatan menspesialkan yang spesial. Kalau gak ada moment, jatuhnya kaya tersambar petir disiang hari, ada udang dibalik batu atau kesurupan malaikat. Iya gak? Pengalaman sendiri sih gitu, misal sekalinya nanya pada hari yang memang tidak ada moment apapun, jatuhnya malah aneh. Padahal sederhana. Cuman nanya "Mamah aya nu hoyong dipeser teu (Ada yang mau dibeli), insya allah nanti Resti beliin tapi nanti" . Malah balik nanya, "Menang lomba naon deui, De ?". Bahkan hari ini yang memang ada alasan dan gak perlu malu untuk sedikit berexpresi langsung ke Mamah, doi malah nyeloteh "Naon ath jajan, jiga budak leutik (Apa atuh jajan, kaya anak kecil)". Jawaban beliau saat aku tanya " Mamah, hoyong jajan naon. Ku Resti bade dipangmeserkeun?"
.
Aaihhh antara salah penawaran dan bersyukur. Salah penawaran karena  cuma nawarin jajan  doang, bersyukurnya setidaknya beliau gak minta mantu :D

Ah kepanjangan, tapi dapet kan benang merahnya ? Yups, pointnya jangan mudah menghakimi. Kadang posisi  abu memang lebih elegan menyikapi perbedaan, itu sih pointnya bukan prihal  mama minta mantu yah :D

Kemudian karena sekarang moment hari ibu, gak salah dong jika aku merefleksi diri keberadaan my someone spesial, tulisan ini yang tadi diatas aku sebut sebagai tulisan untuk mengikuti challenge dari komunitas yang aku ikuti, dan mau aku selipkan disini. Gak menang sih, tapi tetap bahagia, setidaknya aku diberi kesempatan untuk mengikat makna. Makna dari surga  yang masih ditelapak kaki Ibu.
.
23 tahun yang lalu, aku adalah bocah yang hanya bisa merintih menangis dipangkuanmu. Penaku tak akan pernah cukup menggambarkan perjuanganmu. Hari ini aku masih seorang anak yang selalu merepotkanmu. Warning makanan yang sering ku abaikan, vitamin yang kau potong menjadi dadu - dadu kecil  dan kau sajikan tepat dalam tanganku  agar aku terjaga dalam sehat adalah caramu mengatakan sayang. Padahal dirimu yang lebih berhak mendapatkan perhatian. Dalam usiaku yang kini memasuki kepala dua, aku mencerna banyak hal darimu. Point utama adalah tentang panorama surga dunia yang ternyata tak bersembunyi dalam indahnya deburan ombak, dermaga senja lukisan alam-Nya, atau city light ketinggian diatas puncak gunung.  Tetapi terlampau dekat, satu depa dalam atap yang sama. Adalah keluarga, surga sebelum surga itu.

Dan aku tidak akan ikut mempertanyakan, keutamaan full mother atau half mother? Karena bagiku, surgaku masih ditelapak kakimu. Bukan, bukan karena aku dibesarkan dari seorang ibu yang berinfak dengan banting tulangnya. Tetapi surga memang tidak akan pernah bergeser dari seorang telapak kaki ibu, dengan atau tanpa .
Karena ia, adalah setulus cinta tanpa syarat. Pijakan kaki pilihannya bukan tanpa sebab, selalu buah hati menjadi pertimbangan.
Terimakasih untukmu yang selalu menjadikanku prioritasmu.

Selamat mengambil jeda, untuk kemudian merenungkan meme keren yang juga hits saat tanggal 22 Desember. Meme yang menampar secara halus tentang lisan yang berlirih merdu mencipta melodi syahdu menyambut hari ibu, tetapi sikap yang masih duhaduh ketika ibu meminta bantu. 

Selamat menghirup nafas segar,  wahai para calon ibu. Untuk kemudia menyiapkan bekal untuk esok hari, karena tugas maha besar telah menanti.  



Mimpi, Resolusi dan Sebuah Jejak

intro

"Mimpi adalah kunci, untuk kita menaklukan dunia. Berlarilah sampai engkau meraihnya senandung lagu dari band Nidji yang menjadi soundtrack dari film yang diangkat dari sebuah novel laskar pelangi adalah benar adanya. Sekaligus antitesis dari quote kebanggaan Cak Lontong bahwa key of success adalah kunci sukses :D.

Masih hangat dalam ingatan, saat masih menjadi maba. Satu moment aku mengikuti training motivasi, lupa - lupa ingat dengan judul acaranya. Tapi disesi training itu, aku disuguhi perjalanan seorang mahasiswa IPB  dalam mengukir mimpinya dimulai dari selembar kertas yang ia tempel di dinding kamarnya. Yups, video ini bertajuk dengan "jejak mimpi". Mengikuti petuah trainer, lekas pulang aku menuliskan seratus mimpiku dalam lembaran HVS, hari ini HVS itu makin terlihat usang tapi selalu berhasil membuat garis bibirku melebar kesamping.

Mimpi adalah harta berharga bagi setiap orang, kehilangan mimpi bukan hanya kehilangan masa depan tetapi kehidupan. Namun terpesona dalam mimpi indah akan membuat kita tidur berkepanjangan lalu lupa untuk mewujudkannya. Kunci mengikat mimpi, salah satunya adalah dengan menuliskannya. Di mana menulis mimpi bisa dengan membuat sebuah resolusi, rencana yang terukur dan bisa terevaluasi.

Hari ini bilangan waktu memasuki episode akhir dalam penanggalan masehi  tahun 2017. Menyambut garis angka genap berikutnya, biasanya setiap orang terdorong untuk membuat resolusi untuk pencapaian target tahun depan. Pun ada yang mengambil jeda, untuk sekedar tenggelam dalam merenung. Tentang apa yang telah dihabiskan dalam 365 hari yang terasa begitu cepat berlalu.

Coretan jejak

Seuntai senyum yang sama dan tak pernah tertinggal pada setiap  coretan pena dalam lembar kertas HVS di dinding itu. Membuatku untuk selalu memegang keyakinan, bahwa mengikat mimpi pada lembaran kertas ini adalah satu cara memanggil dekat menjadi nyata. Tidak ada yang tak mungkin selagi kita berjalanan meski merangkak menujunya.

Tiga prihal mimpi, yang bahkan saat ku tuliskan penuh dengan keraguan tapi mendatangkan keyakinan berkali lipat saat tangan ini mampu mencoretnya. Tentang si kuda mesin, lomba dan buku. Dulu aku melihat seperti kemustahilan jika memiliki kuda mesin dengan jerih payah keringat sendiri tanpa kredit leasing pada usia 23. Hari ini, alhamdulillah ada si blue, si kuda mesinku meski second tetapi menjadi sahabat perjuanganku.

Juga lomba yang seringnya berakhir menjadi peserta, apalagi saat awal mula, ada ragu berdesir dihati, bicara data dan fakta, mana bisa? tetapi  nyantol juga menjadi juara. Memang sebuah keberunrung dari do'a..

Buku non fiksi, terbit mayor pada usia 24 tahun. Dan alhamdulillah dalam usiaku yang akan memasuki 24 bulai Mei mendatang, wasilah untuk menerbitkan buku itu terbuka, dengan event antalogi yang kuikuti dan lolos seleksi.

My Reminder

Saat kita mengambil jeda untuk mengevaluasi diri. Pada apa yang belum tercapai, tetaplah bersyukur and never give up. Aku masih percaya, mimpi yang tertulis itu hanya memiliki dua kemungkinan. Menjadi nyata atau terjadi rekontruksi dalam bentuk yang beda.

Aku tak menyebut gagal pada apa yang belum teecapai dalam list targetku tahun ini. Fyi , ada list yang dalam targetku dalam usia 23 harus diblacklist. Sebutlah DM 3 ( Daurah Marhalah 3 ) ini semisal makhluk tingkatan akhir dari jenjang organisasi eksternal mahasiswa yang kuikuti. Berhubung hari ini aku resmi menjadi alumni dari organisasi tersebut, rasanya memang akan terjadi rekontruksi dalam bentuk yang beda. Misalnya Daurah Marhalah tadi menjadi Daurah Munakahat (gak mau translate ah, biarkan jomblo berimajinasi wkwkwkwk)

Penutup

Sekali lagi tak ada yang tidak mungkin dalam kehidupan. Sekalipun tidak tercapai, tak berarti itu adalah kegagalan mutlak, bisa jadi kesuksesan yang tertunda atau seperti yang ku sebut tadi berekontruksi dalam bentuk yang beda. salam super  hehe.

Oke kali ini, aku mengutip quote dari  teorema manajemen, gagal merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan.

Please jangan bilang kalau sukses itu tak semudah apa yang dikatakan Pak Mario Teguh, atau motivator lainnya. Keluarlah dari zona berlindung pada kosa kata pasrah dan takdir. Ini seperti sebuah kelumrahan yang sebenarnya salah kaprah. Pasrah artinya tidak berpangku tangan tetapi mengambil tindakan dan kesempatan. Begitu pun takdir, ia adalah ketetapan Tuhan namun kitalah yang menentukan ketetapan tersebut. Artinya kembali diri kitalah yang menjadi kunci akan seperti apa takdir kehidupan kita.

Dengan resolusi semoga langkah kita semakin terarah dan termotivasi untuk menggapai tujuan. Tidak lagi beralibi bahwa hidup itu seperti air yang mengalir, karena sebenarnya air yang mengalir pun selalu tahu ke mana dia harus mengalir. 

Penghuni Terakhkir, si Manja yang Gagal Hijrah

Aku adalah seorang penghuni terakhir yang kerap kali ketar - ketir dan kemudian banting setir dalam episode beranjak diatas kaki sendiri.
Iya, seorang bungsu. Kemudian deretan sifat yang melekat padanya, sering kali pula tersematkan padaku.
Manja, kosa kata umum yang acap kali penghuni terakhir dapatkan. Ku kira benar adanya. Hanya aku terbiasa belajar untuk menempatkan sesuai tempatnya. Manja yang berkeadilan, bukan manja - manja cantik ala princess.

Aku terbiasa dididik dalam keluarga yang sangat menghargai perjuangan, selalu ku dapatkan sedari aku yang dulu bocah - bocah imut nan menggemaskan terbiasa untuk berjuang terlebih dahulu sebelum terkabul keinginan oleh orangtua.

"De, kalau mau maen di timezone puasanya harus tamat yah sampe maghrib" iming - iming bapak saat usiaku  empat tahunan..

"De, kamu mau sepatu buricak- burinong (sepatu yang menyala - nyala, anak kids zaman old pasti ngerti sepatu yang dimaksud ini), kamu harus nabung, nabungnya dari uang jajan yang ibu kasih. Bukan minta bekal tambahan sebagai uang jajan" petuah ibu. Oia, waktu itu kids zaman old sering bermain uji kekayaan dengan memperlihatkan buku tabungan yang dimilikinya. Sedari kelas 3 SD sampe kelas 6 SD, buku tabunganku selalu menduduki kursi paling bontot dengan saldo terrendah. Tapi, aku tak pernah hilang kebanggaan dengan saldo terrendah tersebut, iya itu karena  jerih payuhku menyisihkan uang jajan yang kumiliki. Bukan uang tambahan dari orangtua sebagai tabungan.

Lambat laun, waktu pun bergegas laksana cahaya yang memiliki kecepatan bak kilat. Si penghuni terakhir itu, kini telah memasuki kepala dua. Usia yang pantas dikatakan dewasa. Tapi aku berkali gagal mengambil kesempatan untuk hijrah, hijrah dalam perantauan. 

Pertama saat aku menanggalkan bangku putih - abu, dalam bayangku aku bisa menjadi seorang mahasiswi di salah satu kota metropolitan. Tetapi takdir membawaku sebagai seorang mahasiswi dari sebuah kampus swasta di kota kelahiranku. Bukan, bukan karena aku gagal seleksi SNPTN karena memang aku tak pernah sekalipun mendaftarkan diri pada pintu yang terminati oleh seluruh siswa seantero negeri. Sedari awal aku memegang keyakinan bahwa jalan sukses tak selalu melewati pintu PTN. Dulu, incaranku hidup sebagai mahasiswi perantauan adalah sebagai mahasiswi di  Al - Azhar Cairo, Lipia atau alternatif terakhir SEBI. Cairo, Lipia dengan sendirinya mengeliminasiku sebelum aku bertarung karena logika yang melakukan perhitungan memiliki peluang kecil. Terakhir SEBI. untuk yang satu itu, aku fight mulai dari test tulis sampai wawancara. Alla kulli hal, aku memang tertakdirkan untuk tidak meninggalkan Garut.

Episode gagal rantau berikutnya adalah pasca kelulusanku sebagai seorang diploma. Lumrah adanya jika telah sampai pada pintu kelulusan meski bukan sarjana, setiap orang akan memasuki episode untuk melewati fase pertanyaan, "Kerja dimana?" .
Lagi - lagi untuk perantauan, mulai dari rencana  kerja yang sebatas kontrak bulanan di Kota Cirebon sampe rencana kerja menetap di Bandung yang jaraknya tidak terlampau jauh dari Garut, ada saja yang mengganjal dan membatalkan sketsa rencana untuk belajar mandiri di perantuan jika restu orangtua itu tak sepenuhnya aku kantongi.

Tentang hijrah beranjak diatas kaki sendiri dalam perantauan memang sebenar - benar episode memandirikan diri yang selalu gagal aku jalankan.  Ada yang berceloteh bahwa aku terlampau nyaman dan tidak bisa hidup mandiri untuk jauh dari orangtua. Padahal aku sangat ingin merasakan atmosfer itu, tapi restu orangtua selalu yang utama. Orangtuaku mungkin terlampau sayang dan tidak ingin melepaskan anak gadisnya yang senantiasa meramaikan rumah, eeeaaa.

Berbekal nekad pun untuk mengambil keputusan merantau, pada akhirnya ada saja halangan yang kemudian membatalkan pilihanku untuk merantau hijrah dari kota kelahiran. Memang benar, Garut itu selalu menggurat, membawa insan untuk selalu gagal move on dari tanah priyangan yang terkenal sebagai swiss van java.

Lain kesempatan, aku yang masih tak kehilangan ciri khas seorang bungsu yang selalu dimanja dan dikhawatirkan. Dalam episodeku sebagai mahasiswa kelas karyawan dan tinggal di suatu daerah yang masih menjungjung tinggi adab ketimuran. Satu pointnya, tentang jam malam. Entah sudah berapa kali aku menjelaskan, aku bisa dan "ludeng" (read: berani) untuk membawa kendaraan si biru kuda besiku sendiri dan agar tidak terlalu khawatir mencemaskanku berkendaraan di malam hari, aku meyakinkan bahwa hari ini jalanan tengah malam selalu ramai.

"De, bapak baru mau pensiun antar- jemput kamu, kalau sudah bersuami"
Itu jawaban yang paling makjleb banget, skatmate. Aku buntu untuk memenangkan argumentku tadi.

Aku si penghuni terakhir itu akan terus menyusuri lorong waktu ke depan, berdamai dan belajar dari masa yang terus ditinggalkan untuk semakin percaya bahwa selalu ada kesempatan untuk terus mendewasa. Bahkan aku memang akan selalu menjadi seorang anak meski telah memiliki nobat baru sebagai seorang istri.

Tulisan, Sebuah Pujian Yang Membangun dan Kritik yang Melenakan

Selalu ada pergantian, bukan sekedar bilangan masa yang angkanya terus berubah. Seperti tahun ini yang dalam hitungan waktu akan berganti angka. Tetapi lebih dari persoalan angka, ada beda dalam pola dari sebuah alur kehidupan.

Zaman old, sebuah tulisan dikunci rapat dalam sebuah buku bernama diary. Iya, aku salah satu usernya.
Zaman now, sebuah tulisan melayang indah dalam udara dengan radar yang kerumitannya tak aku mengerti,  tetapi bisa dengan begitu leluasa terpublish mudah. Lagi, aku adalah satu satu usernya.

Pergeseran zaman lalu menggeser kebiasaan? Dalam konteks ini, aku tak ingin berbicara benar dan salah. Mereka yang mengumbar aksara, memang ingin mendapatkan pembaca. Fiks, aku pun begitu. Oke lupakan "menginspirasi" jika itu kosakata yang teranggap alibi, toh level itu jauh sekali tingkatan yang harus dilalui. Aku akui ada harap dalam layangan aksara itu, mendapatkan pembaca. Terlebih, aku memang menaruh asa pada sebuah tulisan, memiliki karya dengan jalan meracik aksara. 

Zaman now, media memang hiburan yang mengasyikan. Aku pun merasakan. Tapi omong - omong, melayangkan tulisan di jagat maya itu untuk mencari perhatian atau gila pujian, Res? Malam itu, ku habiskan bermonolog mesra dengan diriku.

" Iya, aku mencari perhatian". Ku jawab dengan jujur. Aku ingin menjadi seorang penulis, puluhan kali aku ditolak penerbit. Sempat membuatku berhenti dan malas meneruskan revisi. Jika setidaknya aku so-so- an menjadi penulis di jagat maya, salahkah? Lupakan nasib mujur penulis kenamaan yang merintis karir kepenulisannya karena viral tulisan didunia maya. Lupakan, aku tidak berfikir sejauh itu. Jika iya, mungkin blog ini akan ku isi penuh dengan tulisan per-modulan, karena statistik laman ini, modus terbesar dalam postingan disini adalah tulisan per-modulan- yang mungkin bisa untuk sekedar copy- paste pertugasan, tidak seperti tulisan ini yang ngalor- ngidul tidak karuan.

" Terus, kenapa tidak kembali menulis dalam diary?" Oh aku masih sesekali menulis dalam buku itu, meski bentuknya tak lagi seperti diary yang dulu memiliki kunci. Yah aku masih menuangkan disana, prihal apa yang ku sebut privasi. Disana, cukup aku yang tahu.

Soal pujian, duh maafkan. Aku tegaskan perut tidak akan kenyang dengan kalimat pujian. Terserah jika dunia melabeli mereka yang kerap melayangkan aksara -seperti aku- tersebut gila pujian. Aku tak peduli, dan akan mudah ku abaikan. Tapi by the way, sebuah teorema mengatakan, "Pujian itu melenakan, dan kritik itu membangun" tetapi di dunia terbalik, teorema pun bisa berganti "Pujian itu membangun, dan kritik itu melenakan" lho kok bisa? karena sekali lagi dalam konteks realita prihal demikian, benar dan salah adalah relatif.

Iya, aku teringat. Sekelumit episode lama tentang tulisan dan sebuah pujian. Jadi tulisan tanganku bisa tergolong tulisan calon dokter gagal, kalau tidak ingin dikatan sebagai tulisan tangan dengan kategori sangat jelek. Ini beneran, aku sendiri masih shock jika membuka lembaran kertas usang yang satu- dua lembar masih bisa ku temukan, nyatanya tulisan tanganku memang begitu jelek, aku sendiri kerepotan membaca ulang. Tapi, aku pernah menemukan semangat untuk merapihkan tulisan, berkat satu pujian seorang teman, " Resti, tulisan kamu tuh bakalan bagus kalau kamunya merapih - rapih tulisan" untuk menunjukkan keseriusan kalimatnya dia bahkan mengizinkan aku menulis tugas merangkum itu dibuku tulisnya. Karena itu, aku menjadi yakin bahwa itu bukan sebuah kalimat peres, karena saat itu aku, bahkan mungkin yang lain bisa sepakat bahwa tulisanku termasuk yang mengkhawatirkan. Ini benar adanya, dalam satu mapel B. Arab, aku dan beberapa murid  yang rata- rata lelaki diberi tugas khusus untuk menulis dibuku yang menurut kesimpulanku ini karena tulisan yang mengkhawatirkan tadi. Namun, karena ujaran yang menurutku pujian itu, akhirnya mampu membuka mataku untuk setidaknya berbenah, berkat lontaran yang ku anggap pujian itu, lambat laun aku mengukir tulisan serapih mungkin dan bisa terbebas dari tugas khusus tadi. Iya, sebuah pujian yang membangun dan tidak melenakan.

Prihal kritikan yang melenakan, pernah pula ku rasakan. Aku pernah mendapat kritikan yang rasanya ( ralat, bukan karena sebatas rasa, tetapi fakta yang memang tidak ku lakukan) aku akhirnya malah terlena, menyengaja diri seperti apa yang ia kritik. Fiks, itu bukan kritikan yang membangun tapi melenakan. So, apapun yang dilontarkan dari luar, kembali kepada kita sebagai pengendali diri yang menentukan. Terlena atau terbangun?