Palestina Kembali berduka, sesaat setelah derasnya hujan bom, hujan tangis pun membahana iringi kepergian para syuhada. Desing peluru,deru tank baja,gelegar bom dan granat menjadi hal yang tak aneh. Genangan darah yang bersimbah,mayat-mayat yang berserakan,rumah-rumah yang di ratakan,semua menjadi pemandangan biasa yang belum cukup untuk membangunkan dunia dalam kebisuannya. Dimanakah HAM??? negara sang kuasa wacana itu malah tak bergeming, bukankah ia yang paling keras mendengung-dengungkan HAM, tapi kenapa ia tutup mata, tutup telinga mendengar penderitaan rakyat Palestina.Ah sudahlah… berharap pada mereka hanyalah sebuah ke-percuma-an dan rakyat Palestina tak perlu menggantungkan harapannya pada mereka. Cukuplah Allah sebagai penolong. Itulah yang di hayati oleh Alif, di usianya yang menginjak 5 tahun, ia telah kehilangan seluruh anggota keluarganya, setelah sebelumnya orang tuannya gugur menjadi syuhada, kali ini keenam kakaknya menyusul mereka kembali kepadaNya.Tapi Alif tak kehilangan semuanya. Iman dan semangat itu selalu terpatri teguh di hatinya. Itulah kekayaan yang berharga yang selalu ia pertahankan sampai titik darah penghabisan.
Tanpa sapu tangan, ia usap airmatanya ,ia larang air matanya untuk kembali jatuh menetes menangisi kepergian seluruh anggota keluarganya, karena ia tahu surga telah menanti kedatangan mereka. Selepas bermunajat padaNya,t iba-tiba luka itu kembali ia rasakan, Alif pun meringis kesakitan, peluru itu mengenai kakinya dan ia pun membalut lukanya sendiri seadanya. Dalam keadaan yang demekian, tiba-tiba seseorang mendekatinya .Alif yang sama sekali tak mengenalinya menjadi waswas terlebih orang yang mendekatinya berparas kebarat-baratan tanpa atribut relawan sebagai tanda pengenal yang tak sempat ia kenakan kembali.
“Nak, kau baik-baik saja?”Tanya seseorang itu
“Siapa??Ya.. hu..d..Yaa..huu… dd?pen ja haaa t itu?”jawab Alif terbata-bata
“Bukan..Apakah wajahku seperti penjahat itu? aku saudaramu nak,jangan takut!”jawabnya meyakinkan
“Benarkah??Saudaraku telah meninggal.Semua kakakku, ayah-ibuku,penjahat itu..Tank-tank itu..Peluru-peluru itu..Aku benci penjahat itu..!”Pilu Alif
“Aku saudaramu Nak, kenalkan namaku Ale. Aku relawan dari Turki, aku ingin mengobati lukamu juga saudara-saudaraku yang lainnya. Namamu siapa?”
“Senang berkenalan denganmu tuan, namaku Alif”
Sang Relawan pun mengobati luka Alif, ia balut lukanya dengan p3k di tas kecilnya, ia pandangi wajah sendu itu.Wajah yang seharusnya ceria menikmati masa kanaknya.Tidak seperti Alif dan anak-anak lainnya di tepian Gaza ini.Tak ada permainan layaknya anak seusia mereka.Jika di belahan dunia lainnya senapan dan bebatuan bagi mereka adalah alat untuk meramaikan permainan perang-perangan, tapi tidak bagi Alif. Senapan dan bebatuan itu adalah senjata yang sebenarnya untuk melawan musuh-musuh dalam peperangan yang tiada henti, meski Alif tahu bahwa senjata yang ia miliki tak ada apa-apanya dibandingkan amunisi yang dimiliki sang lawan.Tank Markava,peluru-peluru, Rudal, Pesawat F-35nya dan senjata canggih lainnya, semua itu tak membuatnya gentar. Jika di belahan dunia lainnya anak-anak bersenandung lagu dalam keceriannya tapi disini Alif dan yang lainnya bersenandung takbir sebagai pembakar semangat melawan musuh-musuh Allah.
“Sekarang kau di sini sendiri??apakah kau mau ikut bersamaku tinggal di Turki?”tawarnya membuka lagi percakapan
“Tidak tuan..Terimakasih..Aku ingin tetap di sini.Dan aku tidak sendiri. Inallaha ma’ana!”jawab Alif.
“Kau tidak takut dengan penjahat itu? kenapa kau ingin tetap disini, bukankah penjahat itu selalu menjahatimu?”
“Ibuku pernah bercerita bahwa aku diberinya nama Alif agar aku seperti huruf hijaiyah yang berada di depan,begitupun dengan keadaanku sekarang aku ingin tetap menjadi yang terdepan seperti pesan Ibuku, sekalipun aku akan meninggal. Tak mengapa selagi syuhada yang kidapat”.
Sang relawan pun terdeiam, dalam benaknya ia berdecak kagum kepada bocah yang ada dihadapannya. Kedewasaannya melampaui usiannya bahkan mengalahkan kedewasaannya. Ia seolah telah memberi tawaran yang salah, kehidupan yang nyaman tak akan menggiurkan niatnya untuk menjadi mujahid cilik yang mendambakan surga sebagai tempat berkumpulnya kembali dengan keluarganya. Bukankah teramat jarang kita mendengar pengungsi Palestina di luar tanah mereka yang selalu terus mereka perjuangkan? Bukan karena tak ada pilihan untuk mengungsi ke negara lain, tapi pilihan sahid lebih menggiurkan untuk mereka. Alif pun membuka percakapan kembali sekaligus meminta izin untuk pamit meninggalkan tempat percakapan, saat sang relawan itu bertanya hendak pergi kemana dengan percaya diri Alif menjawab ia ingin menghatamkan hapalannya meski lukanya belum sembuh total.
Ketika Alif dan puluhan mujahid cilik lainnya sedang asyik-asyiknya melantunkan hafalannya, tiba-tiba tank-tank itu datang mengusik ketenangan mereka dalam menyenandungkan kalamNya.
“Istaidu..Istaidu..Lil jihad…Allahuakbar!!!”laksana seorang komandan memberikan instruksi. Alif serta puluhan mujahid lainnya menyambut seruan itu dengan takbir yang menggebu-gebu, tak ada siratan takut sedikit pun meski mereka tahu selangkah mereka maju,pintu kematian akan semakin mendekat.,
…Dorrrrrrr……….dorrrrrrrrrrrrrrrr!!desing peluru yang membahana,tak lantas mendengar ancaman itu menjadikan Alif mundur kebelakang. Dengan senapan dan bebatuan di tangannya, ia tetap maju di garda terdepan seperti makna namanya yang telah ia ungkapkan. Dengan lantunan takbir ia lemparkan senapan dan bebatuan itu ke arah tank-tank itu. Dalam suasana genting itu Alif tak gentar untuk tetap berjuang bahkan sampai ketika peluru tepat mengenai jantungnya, kalimah sahadatain pun di ucapakannya dan mengantarkannya ke surga, Alif sang mujahid cilik itu telah sahid.