Seragam
putih abu itu telah ditanggalkan, ada
yang menggantinya dengan kemeja- jeans atau perpaduan kaos dengan jeans,
sesekali jaket sebagai asesoris untuk kaum adam. Lain lagi dengan kaum hawa,
varian style nya begitu beragam agak
repot juga ngabsennya hehe. Pokoknya darimulai setelan rok you can see sampai
gamis lebar + cadar pun bisa ditemui di dunia yang bernama kampus. Iya kita
sedang berbicara dunia para mahasiswa.
Dunia yang penuh dengan multidimensi, ada si kubis[1] yang asyik kuliah sembari jualan, mulai dari
pulsa, kaos, buku, cemilan dan segala macam lainnya yang berpeluang menghasilkan
pembuluh dompet alias money dia jadikan objek jualan. Ada si kupu-kupu [2]
yang akrab banget rute rumah-kampus.
Tipe yang kaya gini, tutup mata juga tahu betul
rute jalan dan gak mungkin lagunya Ayu ting-ting yang salah alamat itu
sampai kejadian kecuali takdir menghendaki . Dan ada jenis kupu-kupu yang high kelas, dimana ia juga rangkap sebagai kutu buku,
tambah mantap tuh hafalannya selain “vocab rute” rumah-kampus tapi juga seabreg teori buku
masuk dalam daftar panjang ingatan mereka. Ada lagi nih si kunang-kunang[3],
yang tipe ini lumayanlah “vocab rute” jalannya jauh lebih banyak dari si
kupu-kupu, biasanya cafe dan tempat hang out lainnya masuk dalam ingatan “vocab
rute” yang sudah diluar kepala mereka.
Dan ada juga si kuda-kuda[4],
eits yang satu ini bukan berarti pasang mimbar dikampus terus wara-wiri ceramah
ke santero kampus, karena toh yang utama itu mengjijrahkan diri dan memberi teladan yang baik sembari mereka berhimpun di UKM kampus
semisal rohis gitu kalau dalam dunia Putih Abu, bukankah kebaikan yang tidak teroganisir akan kalah oleh kejahatan yang teroganisir. . nah kalau eksternalnya, bisa lah untuk gabung di KAMMI, yang ini lebih luas malah, mengajari kita untuk menjadi muslim yang hanif, intelektual profetik yang berjiwa sosial dan melek politik. Jadi tertarik angkat topik yang lebih sfesifik tentang aktifis haraki haraki gimana?
Tahu sendirilah, diskursus singa jalanan
vs akademisi sudah sangat familiar, di setiap kampus diskusi ini selalu menjadi
kajian panas para mahasiswa. Untuk para singa jalanan, aksi adalah keharusan
seorang mahasiswa, jas almamater mereka wajib terkotori debu jalanan juga tetes keringat terik matahari.
Tapi untuk akademisi, IPK comlude adalah wajib, ia akan menjadi catatan
kebanggaan ketika di kenang juga dapat
dijadikan persembahan terbaik untuk keluarga tercinta. Keduanya tak salah,
menjadi singa jalanan tak mengapa asal kewajiban menuntut ilmu jangan sampai
terabaikan karena ada beberapa tipikal
aktifis yang begitu kuat di pergerakan sampai ia rela di DO dengan dalih DO
fii Sabilillah, meski benar bahwa DO mereka bukan sekedar karena malas
menyelesaikan salah satu dari problematika mahasiswa tingkat akhir selain
nikah, yakni skripsi. Bahkan beberapa
alumnus yang mengalami hal tersebut memang bisa membuktikan bahwa mereka bisa
mencapai tangga kesuksesan tanpa gelar di belakang nama mereka juga tanpa lembar ijazah. Namun di era ini, anekdot DO fii
sabillillah sudah tidak relevan dan mulai harus terganti dengan Comlude Fii
Sabilillah, tentu ini menjadi catatan sendiri untuk para mahasiswa tipikal
studi Oriented agar tak hanya sekedar lembar IPK dan izasah saja yang dikejar,
harus ada nilai lebih agar lembar ijazah tak sekedar kertas kelulusan semata
tapi bagaimana mereka bisa menghasilkan karya dari ide dan gagasan dari buah pemikiran
mereka yang bisa bermanfaat untuk masyarakat. Sebenarnya kombinasi yang pas untuk mahasiswa tipikal studi oriented
yang juga berorganisasi, selain pembelajaran agar semakin cerdas dalam memanage
waktu juga dalam menerpa ide dan gagasan mereka agar menjadi sebuah karya yang
memiliki nilai jual. Mahasiswa yang berkreatifitas tinggi dan memiliki ide dan
gagasan terkadang menjadi buntu ketika mereka tidak memiliki skill dalam
berjejaring atau skill organisatoris sehingga ide mereka stag nan di tempat.So
masih mau cuma numpang beken berstatus mahasiswa? Nah kalau mahasiswi gimana? Eits mahasiswi juga bisa keles jadi
akhawat haraki, karena arsitek peradaban
itu bernama wanita. Gak percaya? Yuk buktikan.
Tak terbantahkan lagi bahwa sang
arsitek peradaban itu bisa juga bernama wanita,bukan karena semata darinya lahir setiap orang-orang hebat itu yang kelak
akan mengubah dunia tapi bagaimana peranannya baik sebagai madrasah pertama
dalam miniature peradabannya (Kelarga ) atau peranannya langsung di medan juang
baik dalam ranah
social,pendidikan,politik,budaya dan atau yang lainnya. Dan inilah
kehebatan seorang wanita.Ketika tangan kanannya menggendong ayunan maka tangan
kirinya mampu mengguncang dunia.Peranannya tadi tak menjadi mengapa karena
dunia wanita tak hanya sebatas Sumur,Dapur dan Kasur selama kaidahnya terpenuhi
bahwa kewajiban yang satu tak harus meninggalkan kewajiban yang lain. Maka
dalam konteks kekinian Almarhumah Ustadzah Yoyoh Yusroh dengan belasan anaknya
yang hafidz patut di jadikan role mode bahwa peranan ia di kancah
politik,social dan atau yang lainnya tak menelantarkan peranannya di kancah
domestic (keluarga).
Afwan saya lupa kita belum
mendefinisikan siapakah akhwat haraki itu?? adakah ia yang memakai sandal
gunung,atau bidadari dunia beransel?hehe.Terasa naif jika kita mendefinisikanya
hanya secara dhahirnya saja karena bisa jadi akhwat yang bergaun anggun yang
tak bersendal gunung dan tak pula beransel memiliki kapasitas yang memadai
untuk ada dalam sebuah pergerakan. Beberapa akhwat banyak yang menemukan
ketidaksebandingan diri antara kapasitas dan amanah yang ada.Setidaknya itu
yang penulis alami atau pernah penulis baca pada sebuah artikel yang bertajuk” Akhwat think slow, move
slow” eits yang merasa tidak seperti itu
jangan mendemo, karena bukan saya penulisnya hehe.Tapi mungkin ada
benarnya juga ketika seorang wanita yang notabenenya
memiliki sensifitas perasaan tinggi bergelut pada sebuah pergerakan yang penuh
dinamika dan menuntut mengedepankan pikiran jadi harap di maklum ketika ada
loading yang terjadi setidaknya itu proses baginya untuk menyamakan
frekuensiDan ini yang menjadi pertanyaan khususnya bagi penulis
pribadi,kapasitas apa yang harus dimiliki agar ketidaksebandingan diri ini bisa
tereliminasi?Ada asumsi penyebab munculnya ketidaksebandingan diri bisa jadi
karena pemahaman,belum mengenal potensi diri atau yang ketiga ruh dakwah kita
yang tak ada.
Lalu tugas kita sebagai Akhawat
haraki itu apa?adakah sama dengan peran lain politikus wanita adakah sama
dengan peran kita sebagai seorang akhwat Haraki? Tentu berbeda jika eksekutif
wanita itu berpolitik praktis dan yang memiliki power dalam menentukan
kebijakan sesuai dengan yang dimandatkan kepadanya maka kita sebagai seorang
akhawat haraki berpolitik nilai dengan mandat kita sebagai seorang mahasiswi
yang memiliki kekuatan sebagai penyangga pemerintah yang sering kita sebut
sebagai agent of Change. Entah itu posisi kita sebagai oposisi ataupun mitra. Berbicara
masalah ini menarik memang kita selalu tajam memposisikan diri sebagai
oposisi,selalu peka terhadap hal apapun yang bisa kita kritisi tapi yang tak boleh dilupakan adalah tanda cinta kita
juga tak hanya mengkritisi penyimpangan yang ada tetapi juga melakukan
kerja-kerja sebagai mitra dalam rangka perbaikan.
[1] Kubis,
kuliah-bisnis
[2] Kupu-kupu,
kuliah pulang-kuliah pulang
[3]
Kunang-kunang, kuliah nangkring-kuliah nangkring
[4]
Kuda-kuda, kuliah dakwah-kuliah dakwah