Menjadi Biasa Adalah Istimewa, Pelajaran dari Buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat

Sebagai pembuka awalan  dari review buku yang fenomenal ini, ada dua hal yang ingin saya sampaikan, pertama bahwa review ini tidak bercerita tentang garis besar atau synopsis  buku ini ( ingin tahu = baca bukunya) melainkan pelajaran yang saya dapat dari membaca buku ini. Kedua, tentang saya sebagai individu subyektif yang memiliki preferensi sendiri dalam bacaan. Iya, saya adalah tipe orang yang   tidak tertarik membaca atau mencari tahu lebih dalam tentang satu hal berdasarkan penilaian banyak orang, seperti label “Best Seller” atau direkomendasikan oleh banyak orang sebagai buku yang menarik.  Rekomendasi dosen saja  sering saya hiraukan, apalagi rekomendasi dari banyak orang yang gak dikenal hehe. Ada beberapa buku yang membuat saya larut dalam bacaan sampai memunculkan jiwa kepo saya kepada penulisnya jauh sebelum saya mengetahui bahwa buku tersebut ditulis oleh seorang penulis kenamaan, atau buku tersebut kedepannya adalah calon – calon best seller. Iya, sebut saja buku Saksikan Bahwa Saya Seorang Muslim yang saya baca jauh sebelum tahu siapa itu Ust Salim A Fillah juga jauh sebelum buku tersebut menjadi rujukannya bacaan para ADK. Pointnya, kadang saya lebih bisa meresapi sebuah isi dari buku ketika tidak berekspektasi apapun tentang buku tersebut. Tetapi berbeda dengan buku yang akan saya review ini, rasa penasaran saya berawal dari rekomendasi teman juga tentang ramainya buku ini sebagai perbincangan para pecinta buku. Dan setelah saya selesai sampai kholas membaca buku ini dengan durasi waktu satu minggu-an karena modal pinjaman, selang beberapa bulan saya pun tertarik membeli meskipun sudah membaca buku tersebut, tentunya memiliki sendiri sebagai asset lebih asyik dong ketimbang pinjaman yang tentunya harus dikembalikan.

Nah berangkat dari pandangan kedua saya tadi yang pointnya tentang pandangan dan keputusan, ini seperti hal inti yang diajarkan dari buku yang akan direview ini. Buku sebuah Seni Bersikap Bodo Amat dengan judul asli “The Subtle Art Of Not Giving a f*ck”  yang merupakan karya dari Mark Manson. Buku yang garis besarnya mengajarkan untuk bersikap bodo amat dengan pandangan orang, ocehan orang atau bahkan standar hidup yang dibentuk oleh mayoritas orang dimuka bumi. Bodo amat bukan berarti acuh tak acuh dan abai akan segala hal, karena pada dasarnya naluri setiap manusia adalah memedulikan sesuatu, tapi tentang bagaimana kita memilih dengan selektif apa yang penting dan tidak penting untuk kita pikirkan. Karena pada akhirnya memang setiap keputusan bahkan tentang apa yang kita rasakan adalah buah dari pilihan.

Buku ini memang menarik, buku pengembangan diri yang anti mainstream, banyak sekali buku pengembangan diri yang justru mengulas kisah – kisah sukses atau motivasi diri agar hidup menuju kesuksesan tetapi berbeda dengan buku ini, bahkan beberapa judul dari subtemanya pun sungguh menggelitik seperti “Jangan Berusaha” atau “Anda Tidak Istimewa”. Buku ini menyadarkan saya bahwa menjadi orang yang biasa saja adalah istimewa, hal ini adalah seperti antithesis dari banyak sekali fakta dilapangan bahwa kita sering disuguhkan bahwa menjadi orang yang luar biasa adalah istimewa.

Ada beberapa pernyataan yang menarik yang saya kutip dari buku ini “ Hasrat untuk mengejar semakin banyak pengalaman positif sesungguhnya adalah sebuah pengalaman negative. Sebaliknya, secara paradoksal, penerimaan seseorang terhadap pengalam negative justru merupakan sebuah pengalaman postif”.

Inti dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa upaya untuk menghindari penderitaan adalah bentuk penderitaan. Upaya untuk menghindari susah payah adalah susayah payah. Pengingkaran terhadap kegagalan adalah kegagalan. Usaha untuk menyembunyikan rasa malu adalah bentuk rasa malu itu sendiri.

Buku ini memang mengajarkan tentang kita yang tak mesti menjadi seorang yang luar biasa dengan melakukan penerimaan diri yang bukan berarti kita harus rendah diri. Tetapi menerima setiap penderitaan dan tidak menghindar dari merasakan penderitaan tersebut adalah bagian diri menjadi lebih baik. Karena kita tidak benar – benar tahu mana yang disebut pengalaman positif dan mana yang negative. Daripada berusaha menjadi benar setiap saat, sebaiknya kita cari tahu bagaimana kita bisa keliru setiap saat.

Buku ini pun mempopulerkan budaya “Bodo amat” yang entah benar atau salah. Termasuk saya sendiri yang bersikap bodo amat dengan menghindar dari peduli yang akhirnya tidak berhasil. Berusaha untuk tidak memikirkan padahal itu artinya kita tengah berfikir. Karena menapikan diri dari apa yang sedang saya rasakan adalah kesalahan . Setelah kemudian saya memilih untuk menerima diri bahwa saya memang peduli terhadap hal tersebut, saya pada akhirnya bisa bodo amat dan merdeka dari hal tersebut, apapaun yang berkaitan dengan hal tersebut pada akhirnya tidak memberi pengaruh apapun terhadap apa yang saya fikirkan dan rasakan.

Conclusion, buku ini memang mengajak kita menyelami diri kita sendiri dan berdamai dengan apa yang kita fikirkan dan rasakan untuk kemudian meutuskan apa yang harus kita pilih.




Dari Banjir Bandang Garut Sampai Copid-19, Diam Saja!


Kondisi pandemi Covid-19 hari ini memaksa setiap orang untuk di rumah aja yang sepertinya untuk sebagian orang dirasa berat, karena menyempitkan ruang gerak. Pun bagi saya pribadi, jenuh dan bosan saat harus di rumah aja kerap menghantui.  Kadang saya merasa produktifitas  saya menurun dimana hampir sebulan penuh hanya dihabiskan di rumah aja, saya yang terbiasa wara – wiri pergi kemana- mana, kini terganti oleh jempol yang sibuk berselancar di dunia maia. Saat kemudian ajakan dari satu komunitas yang diikuti untuk #menebarKebaikan dengan menggalang dana untuk ikut serta menanggulangi wabah dari pandemi Copid-19 ini, saya mendapatkan insight bahwa #menebarKebaikan bisa meski dengan berdiam saja di rumah. Karena hanya berdiam diri di rumah kita sudah turut andil dalam #menebarKebaikan dengan membantu mengurangi penyebaran virus corona ini, tetapi dengan meningkatkan produktifitas kita untuk lebih bermanfaat kepada masyarakat, maka kebaikan itu akan terus berlipat.

Kondisi saya yang merasa tidak bisa berbuat banyak dalam situasi ini, mengingatkan saya akan musibah bencana Banjir yang pernah terjadi di tanah kelahiran saya. Sejarah mencatat 20 September 2016, petaka Banjir Bandang yang meluluhlantakan tujuh kecamatan di Kabupaten Garut itu mengguncang hingga Nusantara. Satu sisi yang saya syukuri dari bencana kala itu, saya terharu dengan rasa solidaritas kemanusiaan dari masyarakat Indonesia yang bahu – membahu ingin meringankan beban dari saudara kami warga Garut yang menjadi korban dampak musibah Banjir Bandang.  Saat itu saya sempat merasa iri kepada para relawan yang terjun ke lapangan, kotoran dari lumpur tanah, sampai keringat basah mereka nampak gagah di mata saya. Sisi lain saat itu saya dibuat merenung dalam oleh sebuah head news online tentang Banjir Bandang Garut sebagai “Wisata Bencana” karena banyak orang berbondong- bondong dari dan luar Garut  ingin terjun ke lapangan dan melihat langsung kondisi pasca banjir tersebut. Meskipun dari titik itu saya pun menemukan hikmah, karena menambah relasi pertemanan serta menguatkan bonding antar sesama, bahkan salah satu teman saya ada yang menemukan jodohnya, dan memang selalu benar ada hikmah bahkan dalam musibah sekalipun.

 Alhamdulillah, tempat tinggal saya yang kebetulan jauh dari tempat kejadian tidak terkena dampak, dan satu minggu dari kejadian tersebut saya baru berkunjung ke lokasi, itu pun untuk mengungjungi kerabat keluarga yang terkena bencana sekaligus menemui tokoh setempat untuk berdiskusi mengenai pendistribusian bantuan agar tepat sasaran. Dari jeda waktu sebelum berkunjung ke lokasi kejadian tersebut saya merenung, jika dengan diamnya kita membantu maka lebih baik berdiam dirumah dan mewakilkan kepada mereka yang berkapasitas dan kompeten untuk menangani dalam penananggulangan bencana tersebut.

 Kenapa tidak terjun langsung ke lapangan?
Karena niat baik kita untuk #menebarkebaikan saja tidak cukup. Jika dengan keikutsertaan kita dilapangan yang justru menyusahkan para relawan yang berkerja maka menjadi bijak jika kita mengambil peran untuk menebar kebaikan dengan berdiam  saja. Tentu diam yang tak sekadar diam. sejak kunjungan kerabat itu, saya tak lagi mengunjungi daerah terdampak, jika yang bisa dilakukan adalah tidak terjun langsung, maka saya tak perlu pergi ke tempat kejadian. Selalu ada hal kecil yang bisa lakukan, misalnya mempecking barang bantuan, ikut menyiapkan bubur bumil, menyiapkan kebutuhan relawan dll. Sejatinya kebaikan tak mengenal panggung, dia yang ikut menanggung pasti akan terhitung.


Sejatinya kebaikan tak mengenal panggung, dia yang ikut menanggung pasti akan terhitung.

Kondisi banjir Bandang kala itu related dengan saat ini, agar dirumah aja dan tetap #menebarKebaikan. Misalnya dengan ikut berdonasi melalui Dompet Dhuafa. Dompet Dhuafa adalah lembaga sosial yang terpercaya dan bukan sekadar sebagai lembaga yang menghimpun zakat untuk lebih mengenal Dompet Dhuafa bisa melalui Dompetdhuafa.org. Saat ini Dompet Dhuafa pun ikut serta dalam #menebarKebaikan untuk menanggulangi Copid-19. Banyak sekali program dari Dompet Dhuafa yang ikut dalam #menebarKebaikan dalam penanggulangan wabah pandemi Copid-19 ini, seperti pembagian APD untuk tenaga medis, pemasangan  Disenfection Chamber ditempat umum,  sosialisasi pencegahan Corona, layanan ambulans, pembagian sembako untuk keluarga rentan, dll. Jadi bukan hanya rakyat yang bisa diwakilkan, tetapi #menebarKebaikan pun mengenal keterwakilan tanpa mengurangi pahala dari yang mewakili atau yang diwakilkan, inilah kerennya kebaikan berbagi.

Dompetdhuafa.org


Dompetdhuafa.org

Pun halnya dengan kondisi wabah Copid-19 saat ini, jika peran kita yang berdiam diri bisa membantu, maka berdiamlah. Tetapi jika kita bisa memaksimalkan peran kita dengan memainkan jempol untuk menggerakan hati para dermawan agar ikut #menebarKebaikan maka lakukanlah. Tak ada peran receh karena setiap orang bisa berperan dengan peranannya masing – masing. Para tenaga kesehatan yang berperan di garda depan kita bantu dengan tidak memberikan mereka beban lebih dengan tetap berdiam diri dirumah guna meminimalisir pasien terjangkit Copid-19. Ternyata ada kebaikan dalam berdiam saja, selama ada pergerakan #menebarKebaikan dalam diamnya itu. Apalagi sebentar lagi kita akan menghadapi Ramadhan, bulan penuh kebaikan. Terlalu disayangkan jika diam kita hanya sekadar diam.


Tulisan ini diiukutsertakan dalam Lomba Blog Menebar kebaikan yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa”.




Pembela Bangsa dan Penegak Agama Bukan Sebuah Pilihan




Sejarah telah mencatat bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tidak lepas dari peran para pahlawan dimana para ulama dan umat memiliki andil besar dalam perjuangan melawan penjajah dan meraih kemerdekaan Indonesia, saat itu mereka bisa dikatakan sebagai pejuang bangsa dan penegak agama. Dan keduanya bukanlah pilihan melainkan kewajiban yang satu sama lainnya saling mempengaruhi.
“Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak bersebrangan, nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan” (KH. Hasyim Asy’ari). Nasehat sang Kyai tersebut benar adanya, bahwa menjadi muslim yang seutuhnya dalam membela Agama akan sekaligus membentuk seorang negarawan dan membangun bangsanya. 
Agama  merupakan entitas nilai moral dan keyakinan yang justru mampu mendorong setiap pengikutnya untuk berjuang mempertahankan ideologi mereka. Dan disisi lain, negara sebagai tatanan nilai kedaulatan suatu bangsa sangat memiliki arti penting bagi keberlangsungan kehidupan keberagama-an mereka, lalu kemudian keduanya membentuk irisan. Semangat menegakkan agama dan mempertahankan kedaulatan negara bisa berjalan berdampingan  dan menjadi suatu kesatuan yang utuh yang tak bisa ditawar-tawar dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Seorang agamawan bisa pula menjadi seorang negarawan, menjadi sebuah kesalahan apabila memisahkan kehidupan agama dengan negara sebagaimana semangat keagamaan yang ditunjukkan oleh umat Islam ternyata mampu memperkuat eksistensi kedaulatan bangsa dan negara Indonesia  dari zaman penjajahan hingga masa reformasi sekarang.
Maka sudah semestinya, momentum kemerdekaan yang ke-75 ini, kita kembali merefleksi tentang perjuangan para pahlawan kita yang dengan semangat patriotnya mampu menegakan agama dan membela bangsa hingga Indonesia bisa meraih kemerdekaannya. Telah ratusan kali kita berdiri mengheningkan cipta dan mengikuti upaca peringatan pengibaran bendera merah putih namun tak cukup sampai untuk mengantarkan kita pada sejarah baru yang telah menunggu untuk kita torehkan tinta emas. Tapi setidaknya sejarah selalu berbaik hati mengingatkan, untuk kembali melakukan perenungan bahwa sejarah selalu berulang. Maka mengambil pelajaran darinya adalah kemestian. Karena sejarah selalu di pergilirkan sementara kita akan bertemu dengan siklus perjuangan berikutnya, sebut saja untuk mempertahankan kemerdekaan dan meraih kejayaan.
Bercermin kepada sejarah, pernah tercatat  satu bukti kekuatan para penegak agama dan pembela bangsa pada  momentum  perang melawan sekutu, perang hebat yang menjadi ujian mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari usianya yang masih bayi, satu bulan dari kemerdekaan Indonesia yang masih hangat. Tersebutlah Kyai Hasyim Asy’ari  pimpinan pesantren Tubu Ireng yang berhasil  mengkonsolidasikan kekutan umat Islam juga sebagai bentuk respons kepada Bung Karno.  Inilah awal cikal bakal keluarnya Fatwa Jihad yang kemudian dikenal dengan resolusi jihad pada tanggal 17 September 1945. Yang pointnya adalah mewajibkan setiap muslim, tua, muda kaya ataupun miskin wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan indonesia.

Resolusi jihad tersebut memantik semangat umat untuk bertempur sampai titik darah penghabisan,  tak ada lagi ketakutan terhadap kematian,  karena ada nilai dari agama yang diyakini bahwa mati dalam perjuangan adalah kehormatan sebagai syahid yang meninggal dengan kemuliaan. Pertempuran tersebut yang kemudian dikenal sebagai  hari pahlawan dan patutlah mengantarkan kita pada kesimpulan untuk menguatkan kita bahwa membela bangsa tidak bertentangan dengan penegakan agama.
            Berbeda dengan seorang atheis yang kehilangan nilai dan hampa dari perjuangan yang dilakukannya. Dalam satu pertempuran perang dunia kedua, pasukan Uni Soviet yang komunis berangkat  menuju perang  terlebih dahulu melakukan desersi, alasan mereka sangat realistis. Inilah ungkapan mereka yang cukup mashyur terdengar, “Tidak ada bedanya apakah kami mati sebagai patriot pembela Negara atau sebagai pecundang yang bersembunyi di kolong ranjang, karena kami tak punya Tuhan yang akan membalas perbuatan baik kami di kehidupan selanjutnya!”.
 Memisahkan agama dan negara justru melemahkan keduanya, karena perjuangan menegakkan agama akan berpengaruh terhadap bangunan kedaulatan negara itu sendiri. Bagaimanapun, ketika kedaulatan negara terancam, semangat keagamaan bisa menjadi sumber energi yang sangat kuat untuk menggerakkan setiap orang untuk terjun memperjuangkan kedaulatan bangsa dan negaranya. Titik temu ini menjadi sangat penting dan krusial. Karena   perjuangan tanpa dilandasi semangat keagamaan, gelora perjuangan akan tampak lebih  redup jika tidak ingin disebut“sepi nilai”. Hal ini sejalan dengan firman-Nya, tentang disyariatkannya setiap muslim untuk menegakan agama dan larangan berpecah belah.
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syuro:13).
Masa melawan  penjajahan adalah bukti pewarisan semangat yang berasal dari nilai agama. Dan menjadi pemicu paling ampuh yang menggerakan rakyat Indonesia untuk melawan para penjajah, karena meraka meyakini bahwa berjuang membela bangsa bukan semata hanya untuk meraih kemerdekaan melainkan ada semangat ukhrawi yang mereka jungjung dan cita- citakan untuk menjadi seorang mujahid, pahlawan yang sekaligus “pahalawan”.
Kemudian para pahlawan telah mewariskan kemerdekaan Indonesia dengan  bhineka tunggal ika-nya yang kemudian menyatukan semua masyarakat dalam keragaman. Tetap utuh dalam sebuah jalinan keragaman yang begitu kokoh dan kuat adalah cara mempertahankan kemerdekaan dan meneruskan perjuangan dari hasil jerih payah  para pahlawan kita yang telah gugur mempertahankan kedaulatan bangsa ini hingga tetes darah penghabisan. Semangat dan gelora perjuangan semestinya tetap menjadi bagian dari bangsa ini yang terus menerus berkomitmen mengisi kemerdekaan dengan raihan prestasi.

 Pahlawan kita telah berhasil mencapai apa yang telah dicita-citakannya, kemerdekaan yang hasil perjuangan bukan pemberian hadiah seperti bangsa lain. Maka menjadi tugas besar  kita dimasa sekarang untuk meneruskan. Jika dulu perjuangan lebih diarahkan kedalam bentuk fisik melalui pertempuran di medan perang. Maka dalam konteks kekinian, setiap anak bangsa tentunya bisa mengambil peran dalam mempertahankan kemerdekaan dengan menjadi pembela bangsa dan penegak agama di abad milineal. 
Pahlawan-pahlawan baru dari berbagai bidang pendidikan, teknologi, social dan budaya, keagamaan dan bidang lainnya yang menanti kedatangan sosok – sosok pembaharu, generasi sang pembaharu yang mampu membawa merah putih ke masa kejayaannya. Kita mungkin tidak akan lagi pernah merasakan menjadi pahlawan-pahlawan pertempuran, tetapi kita masih bisa menjadi pahlawan-pahlawan pikiran  dalam beragam bidang ilmu pengetahuan dan juga teknologi. Karena membangun bangsa adalah bagian dari ekspresi kesalehan. Kita perlu bangun, bangun dari segala jebakan yang melemahkan, terlepas dari ibadah yang sekedar ritual rutinitas atau membangun yang kehilangan nilai.
Momentum kemerdekaan Indonesia sudah sepatutnya  memberikan efek kewarasan dan keinsyafan untuk seluruh elemen bangsa ini, terutama yang harus digelorakan oleh mereka yang bernama pemuda. Penjaga ibu pertiwi dan penegak agama itu melekat dekat pada bahu para pemuda. Bersatunya pemuda adalah kekuatan yang menjadi pijakan kuat bagi bangsa ini untuk menguat. Belakangan memang kita sedang dalam ujian menghadapi sekian banyak tantangan dalam hal mempertahankan keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dunia politik memainkan peranannya, memotong dan memisahkan dua kutub yang agamis dan nasionalis. Seolah kemustahilan jika ada manusia yang bisa membela bangsa dan sekaligus menegakkan agama. Pemisahan dua kutub tesebut adalah guncangan oleh beragam peristiwa yang sedikit banyak telah menjadi “riak-riak” kekuatan yang menakutkan untuk bangsa lain. Indonesia pun dipecah  dan dikotak- kotakan,  sendi-sendi pertahanan dan kesatuan bangsa sering menjadi ujian dari kaset lama dengan varian judul baru yang masih sama. Namun, dengan segenap kedewasaan berpikir dan semangat akan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan dan  menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa dapat menjadi ikatan yang kuat untuk memupuk rasa persaudaraan, toleransi dan mempersatukan visi dan misi yang sama dalam memperjuangkan kedaulatan negeri ini.  

Membangun Indonesia sama dengan  membangun peradaban dunia. Dengan keragaman budaya  dan tersebarnya pulan yang membentang di bumi pertiwi ini dengan tingkat kesulitan yang kompleks sangat wajar jika membangun Indonesia sama halnya berlatih dalam membangun peradaban dunia. Sabda Rasul  menuturkan :
“Sesungguhnya Allah melipat untukku bumi, maka aku bisa melihat ujung timur dan ujung baratnya. Dan sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang dilipat untukku. Aku juga dikarunia dua perbendaharaan ( Kekayaan) merah dan putih”. ( HR. Muslim)
Sekalipun penulis tidak bisa secara explisit mentafsirkan bahwa merah dan putih itu adalah Indonesia tetapi sebagai seorang pribumi yang dengan panca indranya bisa menyaksikan bahwa Indonesia adalah tanah yang dianugerahi dengan banyak kekayaan.  Hanya ketika kekayaan itu seolah semu karena tak berefek signifikan terhadap kemajuan Indonesia, maka PR besar bagi semua elemen bangsa Indonesia dalam pemanfaatan potensi alam Indonesia.  Karena tugas memanfaatkan potensi local dari alam Indonesia bukan semata tugas warga setempat melainkan tugas kolektif seluruh warga Indonesia dan amanah untuk para penguasa untuk mengambil kebijakan pengelolaan alam dari tanah air Indonesia. 
Menata kembali Indonesia dari benang kusut dan keluar dari debat yang tidak tepat lagi untuk diperdebatkan antara gamis atau nasionalis, karena keduanya bukanlah pilihan melainkan kewajiban. Jika para pahlawan memiliki slogan yang sampai hari ini masih terdengar slogan patriotnya, “Merdeka atau Syahid” maka hari ini kita perlu  mengambil teladan seperti slogan mereka yang bukan sekedar retorika semata. Bambu runcing mereka yang kita subsitusi dengan keruncingan fikiran kita untuk semakin mencerdaskan akal dan hati kita. Agar keshalehan kita terekspresikan untuk menjadi pembela bangsa dan penegak agama. Ijinkan penulis menutup uraian tentang Agamis dan Nasionalis bukanlah Sebuah Pilihan dengan sebuah penggalan puisi karangan penulis sendiri. Untuk sebuah penutup, sebuah sajak pilihan menjadi pengantar. 

Keluarlah dari Mihrab !
Aku percaya banyak tasbih yang teralun syahdu,
Senandung ayat - ayat cintaNya yang terlafal merdu
Juga munajat kebaikan yang lahir dari para pengetuk pintu-nya
Tapi keluarlah dari mihrabmu
Mungkin hatimu teriris melihat dua bocah bercumbuh mesra tanpa malu
Atau dagelan kehidupan yang kadang mempermainkan
Hilqng iman karena perut keroncongan.
Aku faham melawan kemungkaran itu berat, seperti aku yang kerepotan melawan nafsuku sendiri.
Tapi tetaplah belajar untuk melakukan perlawanan meski keluar dari mihrabmu.
Aku faham, soulusi perbaikan adalah tugas besar yang tak mungkin selesaid engan mengembalikan telapak tangan.
Tapi keluarlah dari ihrabmu, meski sekedar menebar salam dan senyum.

Sekali lagi, keluarlah dari mihrabmu
Usah menyangsikan kanan yang kekirian,
Kiri yang kekananan atau kanan yang kekirian.
Tugasmu adalah tetap, menyebar salam dan jadilah sebaik duta muslim.
Aku faham, jilbab atau pecimu menjadi keterkaitan yang selalu terhubung
Dengan tuntutan akhlak yang harus terjaga. Syukuri saja, jadikan ia alarm abadi untukmu.
Kamu iya kamu, keluarlah dari mihrabmu.
^^^^



Menjadi Pahlawan Negara Dengan Investasi Pada SBN


Berbicara tentang investasi, yang terbayang spontan dalam benak masyarakat adalah simpanan  untuk mendapat keuntungan. Sedangkan menurut KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia) investasi adalah penanaman modal dalam suatu perusahaan atau proyek tertentu untuk tujuan memperoleh keuntungan.  Investasi memiliki peranan yang penting dalam perekonomian seseorang yang kemudian bisa menjadi efek domino yang mempengaruhi perekonomian secara makro.  
Jenis investasi itu sendiri banyak macamnya, dari sederhana seperti yang banyak digemari msayarakat dengan membeli emas, perhiasan atau tanah, sampai menjadi investor dalam sebuah proyek atau menanam modal pada sebuah perusahaan dengan analisa biaya – keuntungan, bisa investasi pada tahap high risk dengan high return atau Investasi low risk dengan low return.
Tapi banyak yang belum ngeh bahwa ada jenis investasi yang bahkan bisa menjadi bentuk kontribusi untuk kemajuan bangsa. Yaitu pada SUN ( Surat Utang Negara) atau Surat Berharga Negara contoh instrumentnya adalah sukuk untuk Surat Berharga Syariah Negara atau SBR ( Saving Bond Ritel) yang merupakan obligasi negara ritel.  Salah satu sumber pendapatan negara yang menjadi APBN bangsa kita adalah Surat Berharga Negara. Jadi masyarakat yang menjadi investor pada Surat Berharga Negara secara aktif ikut berperan dalam kemajuan bangsa. Karena, uang yang dihimpun dari masyarakat negara tadi, digunakan untuk pengelolaan  hajat orang banyak, seperti  pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pembiayaan lainnya demi kepentingan bangsa dan negara. SBN ini investasi yang dikelola negara untuk melakukan pembiayaan APBN yang dilakukan secara aman dan terstruktur.
Lalu kenapa Surat Berharga Negara ini bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi? Dalam ekonomi makro, kebijakan negara dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi bisa berupa kebijakan fiscal atau moneter. Kebijakan fiscal seperti kewenangan negara dalam mempengaruhi atau menetapkan harga agar keseimbangan antara permintaan dan penawaran stabil. Sedangkan kebijakan moneter adalah kebijakan negara dalam mempengaruhi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam kasus ini, seolah SBN hanyak terkait dengan kebijakan moneter, padahal  dengan adanya penawaran SBN, jumlah uang yang beredar di masyarkat akan berkurang dan tentu daya konsumtif pun bisa menurun dan hal ini bisa mempengaruhi pasar. Sehingga SBN ini menjadi instrument yang memiliki peranannya dalam merumuskan kebijakan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia.  
Kemudian mengenai keuntungan menjadi investor untuk SBN ini selain membantu negara seperti yang dikemukakan diatas adalah, bahwa investor SBN tidak akan mengalami gagal bayar karena dilindungi dan dijamin oleh Undang – Undang. Tentu hal ini berbeda, jika investor menanamkan modalnya pada proyek atau penempatan saham kepemilikan pada perusahaan lain. Dimana risiko gagal bayar, atau rugi akan membersamai modal yang diinvestasikan. Sehingga investasi pada SBN ini sangat cocok untuk tipe orang yang tidak menyukai risiko tetapi imbalan yang akan didapat melebihi keuntungan jika investasi pada deposito. Itu artinya bahwa investasi pada SBN adalah hal yang menarik, menguntungkan secara pribadi untuk investor dan juga menjadi pahlawan negara.



Sajakku

Sajakku










Sajakku

Sajakku tak bernyawa
Tapi dia menjadi dewan perwakilan rasa
Sajakku tak bernama
Tapi dia menjadi orator panggung sandiwara

Sajakku bukan fakta
Tapi dia hanya ilusi nyata
Sajakku bukan obat penyembuh luka
Tapi dia mendatangkan suka

Sajakku tak memiliki satuan hitung angka
Namun ia hanya deretan angka
Sajakku mungkin tak berharga
Namun meski serah saja, ia memiliki makna.

Sajakku bukan hanya tentangmu saja
Tetapi bisa jadi hanya kepalsuan pena.

Garut, 21 Maret 2019

Selamat hari puisi

Polemik Pajak Profesi Penulis

Indonesia masih mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Dan saat ini, sektor pajaklah yang menjadi sumber pendapatan tertinggi, berbeda dengan negara maju  yang menjadikan sektor perdagangan sebagai sumber pendapatan tertingginya.
Sehingga tak aneh, jika kewajiban membayar pajak tidak bisa lepas dari setiap dimensi masyarakat kita.Salah satu sumber pajak negara adalah pajak perbukuan.

Di tengah dunia literasi Indonesia yang sedang berbenah, isu ini kembali mencuat pada tahun 2017.  Setelah Tere Liye, salah satu penulis yang cukup kondang di negeri ini, memutuskan kontrak dengan dua penerbit besar, yaitu Gramedia Pustaka Utama dan Republika Penerbit, beberapa waktu lalu.
Masalah pajak perbukuan, khususnya pajak penulis, menurut Tere Liye, adalah ketidakadilan pajak yang mencekik profesi penulis.

Pajak penulis dianggap lebih tinggi dari pajak profesi lainnya, Tere Liye mencontohkan perhitungan pajak, jika royalti penulis dari penerbit buku mencapai 1 miliar. Sekitar 245 juta rupiah atau 24,5% harus disetor sebagai pajak, hal tersebut dianggapnya sebagai ketidakadilan pajak yang mencekik profesi penulis. Penulis buku membayar pajak 24 kali dibanding pengusaha UMKM, dan dua kali lebih dibanding profesi bebas.

Merespon keluhan itu, Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Seksama, mengklarifikasi bahwa pada prinsipnya semua jenis penghasilan yang diterima dari semua sumber, dikenakan pajak sesuai perundang-undangan yang berlaku. Artinya semua sudah menjunjung tinggi asas-asas perpajakan yang baik, termasuk asas keadilan dan kesederhanaan.

Ditambahkan beliau, penulis dengan penghasilan bruto kurang dari 4,8 miliar dalam setahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan bersihnya dengan berdasar Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) besarnya 50% dari royalti yang diterima dari penerbit.

Namun hal itu, dibantah Dee Lestari, penulis yang tak asing lagi di kalangan pembaca negeri ini. Menurutnya, beberapa penulis yang melaporkan pajak royalti berdasar norma tersebut, justru ditolak kantor pajak dengan alasan NPPN hanya bisa dipakai untuk pendapatan non royalti padahal pendapatan utama seorang penulis adalah royaltinya.

Dee menilai akar masalah dari pajak penulis ini, adalah royalti dianggap penghasilan pasif. Karena penulis tidak perlu keluar modal, kecuali menerbitkan buku karyanya sendiri, penulis akan dianggap mengeluarkan modal.

Tak hanya mengkritik, Dee juga mengusulkan, jika royalti sebagai penghasilan pasif,  semestinya diberlakukan pajak pemasukan pasif. Artinya tak ada lagi pajak setelah pemotongan dari pihak penerbit. Dan jika royalti dipertimbangkan sebagai penghasilan aktif, maka semestinya dikenakan norma pada seluruh pendapatan penulis tanpa terkecuali.

"Pilihan pertama lebih menggairahkan bagi saya. Bayangkan, jika para kreator diberi keleluasaan seperti itu, negara benar-benar dapat menghadirkan atmosfer kondusif bagi para penemu dan insan kreatif yang2 pekerjaannya mencipta, termasuk penulis," lanjutnya.

Pilihan lain kemudian muncul di era digitalisasi saat ini, banyak penulis yang kemudian memilih untuk menerbitkan bukunya sendiri atau menjual secara daring. Meski ada pergeseran kebiasaan membaca tapi tren ini tidak terlalu signifikan, pasalnya mayoritas masyarakat Indonesia masih memilih membaca buku secara fisik ketimbang versi digital.

Menanggapi persoalan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk mencari tahu duduk persoalan yang menyebabkan Tere Liye dan beberapa penulis lain keberatan atas pajak yang harus dibayarkannya.

Pernyataan penulis Tere Liye untuk menerbitkan bukunya kembali setelah beberapa waktu lalu menyatakan mundur dari dunia perbukuan tanah air, yang diunggah melalui akun Fanpage Facebook-nya, pada tanggal 4 April 2018, menunjukkan ada perubahan yang baik dalam peraturan pajak untuk penulis. Maka menerbitkan buku awal Juni 2018, adalah bentuk apresiasi Tere Liye kepada keputusan pemerintah dalam perubahan peraturan pajak profesi penulis.

Pajak perbukuan bukan hanya menyangkut profesi penulis, ada industri di dalamnya, penerbitan, percetakan kertas, toko buku, karyawan- karyawan di lingkungan tersebut dan sebagainya, ada banyak pekerjaan rumah, bagi sistem literasi Indonesia.
Namun perubahan ini, adalah langkah awal untuk terus mengembangkan dunia literasi Indonesia, dengan segala lika-likunya.

Sumber:
1.https://edukasi.kompas.com/read/2010/02/17/07453195/Tiras.dan.Royalti.Pokok.Masalah.Perbukuan
2. http://blog.mizanstore.com/melihat-kasus-pajak-penulis-dari-sisi-penerbit/
3. http://www.derereznotes.my.id/2017/09/gantung-pena-nya-tere-liye-antara-hobi.html?m=1.
4. https://www.wanita.me/tere-liye-kembali-ke-dunia-perbukuan/
5. http://www.konfrontasi.com/content/opini/gagasan-penghapusan-pajak-perbukuan
Artikel ini dianggit pada tantangan kesepuluh #katahatiproduction

Disusun oleh:
1. Alleyah
2. R. Cipta Anugerah Persada
3. Resti Tri Herdiyanti
4. S. Ulfanitha



Sumber gambar :edunews

Almarhum Sebelum Tertulis di Batu Nisan






Data tak selalu berbicara tentang angka dan fakta. Baginya statistik dan grafik itu bukan lagi informasi sekelabat bayang saja, melainkan nyawa dari cerita. Mereka adalah deras perjuangan, air mata sendu dan semangat yang menggelora. Milka mengawalinya dari ketidaktahuan, kehilangan asa, dan cinta yang dalam.  Seorang broker yang bermula dari broken heart. Mereka menyebutnya pialang saham, yang piawai membaca saham dan investasi di pasar keuangan. Beberapa juga menyebutnya sebagai penjudi yang ulung, spekulan yang berdaulat dan terhormat.

Jarum jam telah membentuk  90 derajat, sementara Milka baru saja menutup laptopnya dan belum menutup mata seditik pun. Tubuhnya sudah meminta direbahkan sedari tadi tetapi pantang ia turutkan selama targetnya belum ia selesaikan. Milka ingin menebar manfaat bukan sekedar  komisi  atau gaji menggiurkan dari perusahan sekuritas yang menaunginya untuk setiap transaksi saham dan studi kelayakan bisnis yang ia buat tetapi  bagaimana memberikan indivasi secara berkala yang tidak menyesatkan investor dan melabrak aturan guna mendapat komisi setingi – tingginya.  Milka memandangi jagoan kecilnya, dia yang dulu tak bisa tidur tanpa dekapannya telah terbiasa tidur seorang diri, rasa bersalah itu menyeruak masuk mengusir kantuk yang daritadi menyerang.  Alif telah menjadi bocah periang meski tanpa sosok ayah, iya Milka adalah seorang Ibu sekaligus Ayah untuk Alif. Naasnya Milka harus merasakan kehilangan sebelum kehilangan itu benar – benar nyata. 

Pepatah bijak itu selalu benar mengabarkan, bahwa dibalik kisah sukses ada harga perjuangan yang harus ia bayar. Milka yang lugu dan polos itu telah bermetamorfosis menjadi Milka yang cerdas dan pintar membaca peluang. Milka yang dulu menjadi korban ketidaktahuan dan ketidakberdayaan telah menjadi Milka yang selalu diandal – andalkan. Dulu lugu dan polos itu bersatu padu menjadi kebodohan yang membawa Milka pada rumah kedua. Ia dia menjadi korban dari “mantan suaminya” yang membohongi dirinya, mengaku seorang pemuda perjaka padahal telah memiliki rumah pertama. Ah, betapa dia merasakan sekarang berharganya selembar kertas  absah sebagaimana berharganya satu lembar slot saham yang sering ia soroti. 

“Yang utama itu sakral dan sah, resepsi itu point belakangan” Ujarnya dulu begitu Naif.
“Dik, Mas begitu bangga dan tak akan pernah menyesal bersanding denganmu !” Jawaban yang berbalik tajam padanya, iya dia tak mungkin menyesal setelah mendapatkan rumah keduanya, tetapi Milka sesak dengan penyesalan yang tiada berkesudahan. 

 Apa kabar Ktp – El yang masih bisa di gandakan dan memalsukan status asli. Lengkap sudah Milka yang lugu itu terbodohi oleh cinta. Lalu karma kebodohan itu kemudian menghantui Milka, menggedor – gedor istananya sebagai seorang pelakor. Tanpa pernah ia bisa membela diri bahwa dia adalah korban yang sesungguhnya. Ternyata benar, wanita yang selalu menjadi korban yang paling dirugikan.   Sialnya, Alif bocah tak berdosa itu telah menanggung kesedihan sejak mulai ia dilahirkan. Dimata negara ia adalah anak yang tak memiliki ayah. Bukan, Milka bukan wanita pragmatis yang rela menjadi orang ketiga demi harta. Meski pernikahannya dicatatkan dan diakui oleh negara, Milka tak akan menggugat harta gono – gini dari mantan suaminya. Toh setelah ia menyandang status janda, tak seperak harta mantan suaminya yang ia bawa. Istana kedua itu pun ia tinggalkan hanya Alif harta bersamanya yang ia jaga. Iya itulah keinginan terbesarnya bahwa anaknya dimata negara memiliki ayah yang tertulis dalam kartu keluarga. Milka ingat akan celoteh polos Alif ketika pulang dari sekolah.


“Ma, teman – teman Alif nanya, kok di kartu keluarga Alif, gak ada nama papah sih? Oh iya Ma, papa itu siapa ? Alif kok gak pernah ketemu, nengokin Alif dalam mimpi  juga gak pernah “ Celoteh polos dari Alif

Seketika itu matanya berembun, mulitnya terkunci. Sepuluh menit kemudian Milka baru bisa menemukan jawaban, “ Papamu sudah Almarhum, Nak. !” Iya, baginya dia telah almarhum sebelum tertulis di batu nisan.

 #katahatichallenge
#katahatiProduction