Indonesia masih mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Dan saat ini, sektor pajaklah yang menjadi sumber pendapatan tertinggi, berbeda dengan negara maju yang menjadikan sektor perdagangan sebagai sumber pendapatan tertingginya.
Sehingga tak aneh, jika kewajiban membayar pajak tidak bisa lepas dari setiap dimensi masyarakat kita.Salah satu sumber pajak negara adalah pajak perbukuan.
Di tengah dunia literasi Indonesia yang sedang berbenah, isu ini kembali mencuat pada tahun 2017. Setelah Tere Liye, salah satu penulis yang cukup kondang di negeri ini, memutuskan kontrak dengan dua penerbit besar, yaitu Gramedia Pustaka Utama dan Republika Penerbit, beberapa waktu lalu.
Masalah pajak perbukuan, khususnya pajak penulis, menurut Tere Liye, adalah ketidakadilan pajak yang mencekik profesi penulis.
Pajak penulis dianggap lebih tinggi dari pajak profesi lainnya, Tere Liye mencontohkan perhitungan pajak, jika royalti penulis dari penerbit buku mencapai 1 miliar. Sekitar 245 juta rupiah atau 24,5% harus disetor sebagai pajak, hal tersebut dianggapnya sebagai ketidakadilan pajak yang mencekik profesi penulis. Penulis buku membayar pajak 24 kali dibanding pengusaha UMKM, dan dua kali lebih dibanding profesi bebas.
Merespon keluhan itu, Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Seksama, mengklarifikasi bahwa pada prinsipnya semua jenis penghasilan yang diterima dari semua sumber, dikenakan pajak sesuai perundang-undangan yang berlaku. Artinya semua sudah menjunjung tinggi asas-asas perpajakan yang baik, termasuk asas keadilan dan kesederhanaan.
Ditambahkan beliau, penulis dengan penghasilan bruto kurang dari 4,8 miliar dalam setahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan bersihnya dengan berdasar Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) besarnya 50% dari royalti yang diterima dari penerbit.
Namun hal itu, dibantah Dee Lestari, penulis yang tak asing lagi di kalangan pembaca negeri ini. Menurutnya, beberapa penulis yang melaporkan pajak royalti berdasar norma tersebut, justru ditolak kantor pajak dengan alasan NPPN hanya bisa dipakai untuk pendapatan non royalti padahal pendapatan utama seorang penulis adalah royaltinya.
Dee menilai akar masalah dari pajak penulis ini, adalah royalti dianggap penghasilan pasif. Karena penulis tidak perlu keluar modal, kecuali menerbitkan buku karyanya sendiri, penulis akan dianggap mengeluarkan modal.
Tak hanya mengkritik, Dee juga mengusulkan, jika royalti sebagai penghasilan pasif, semestinya diberlakukan pajak pemasukan pasif. Artinya tak ada lagi pajak setelah pemotongan dari pihak penerbit. Dan jika royalti dipertimbangkan sebagai penghasilan aktif, maka semestinya dikenakan norma pada seluruh pendapatan penulis tanpa terkecuali.
"Pilihan pertama lebih menggairahkan bagi saya. Bayangkan, jika para kreator diberi keleluasaan seperti itu, negara benar-benar dapat menghadirkan atmosfer kondusif bagi para penemu dan insan kreatif yang2 pekerjaannya mencipta, termasuk penulis," lanjutnya.
Pilihan lain kemudian muncul di era digitalisasi saat ini, banyak penulis yang kemudian memilih untuk menerbitkan bukunya sendiri atau menjual secara daring. Meski ada pergeseran kebiasaan membaca tapi tren ini tidak terlalu signifikan, pasalnya mayoritas masyarakat Indonesia masih memilih membaca buku secara fisik ketimbang versi digital.
Menanggapi persoalan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk mencari tahu duduk persoalan yang menyebabkan Tere Liye dan beberapa penulis lain keberatan atas pajak yang harus dibayarkannya.
Pernyataan penulis Tere Liye untuk menerbitkan bukunya kembali setelah beberapa waktu lalu menyatakan mundur dari dunia perbukuan tanah air, yang diunggah melalui akun Fanpage Facebook-nya, pada tanggal 4 April 2018, menunjukkan ada perubahan yang baik dalam peraturan pajak untuk penulis. Maka menerbitkan buku awal Juni 2018, adalah bentuk apresiasi Tere Liye kepada keputusan pemerintah dalam perubahan peraturan pajak profesi penulis.
Pajak perbukuan bukan hanya menyangkut profesi penulis, ada industri di dalamnya, penerbitan, percetakan kertas, toko buku, karyawan- karyawan di lingkungan tersebut dan sebagainya, ada banyak pekerjaan rumah, bagi sistem literasi Indonesia.
Namun perubahan ini, adalah langkah awal untuk terus mengembangkan dunia literasi Indonesia, dengan segala lika-likunya.
Sumber:
1.https://edukasi.kompas.com/read/2010/02/17/07453195/Tiras.dan.Royalti.Pokok.Masalah.Perbukuan
2. http://blog.mizanstore.com/melihat-kasus-pajak-penulis-dari-sisi-penerbit/
3. http://www.derereznotes.my.id/2017/09/gantung-pena-nya-tere-liye-antara-hobi.html?m=1.
4. https://www.wanita.me/tere-liye-kembali-ke-dunia-perbukuan/
5. http://www.konfrontasi.com/content/opini/gagasan-penghapusan-pajak-perbukuan
Artikel ini dianggit pada tantangan kesepuluh #katahatiproduction
Disusun oleh:
1. Alleyah
2. R. Cipta Anugerah Persada
3. Resti Tri Herdiyanti
4. S. Ulfanitha
Sehingga tak aneh, jika kewajiban membayar pajak tidak bisa lepas dari setiap dimensi masyarakat kita.Salah satu sumber pajak negara adalah pajak perbukuan.
Di tengah dunia literasi Indonesia yang sedang berbenah, isu ini kembali mencuat pada tahun 2017. Setelah Tere Liye, salah satu penulis yang cukup kondang di negeri ini, memutuskan kontrak dengan dua penerbit besar, yaitu Gramedia Pustaka Utama dan Republika Penerbit, beberapa waktu lalu.
Masalah pajak perbukuan, khususnya pajak penulis, menurut Tere Liye, adalah ketidakadilan pajak yang mencekik profesi penulis.
Pajak penulis dianggap lebih tinggi dari pajak profesi lainnya, Tere Liye mencontohkan perhitungan pajak, jika royalti penulis dari penerbit buku mencapai 1 miliar. Sekitar 245 juta rupiah atau 24,5% harus disetor sebagai pajak, hal tersebut dianggapnya sebagai ketidakadilan pajak yang mencekik profesi penulis. Penulis buku membayar pajak 24 kali dibanding pengusaha UMKM, dan dua kali lebih dibanding profesi bebas.
Merespon keluhan itu, Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Seksama, mengklarifikasi bahwa pada prinsipnya semua jenis penghasilan yang diterima dari semua sumber, dikenakan pajak sesuai perundang-undangan yang berlaku. Artinya semua sudah menjunjung tinggi asas-asas perpajakan yang baik, termasuk asas keadilan dan kesederhanaan.
Ditambahkan beliau, penulis dengan penghasilan bruto kurang dari 4,8 miliar dalam setahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan bersihnya dengan berdasar Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) besarnya 50% dari royalti yang diterima dari penerbit.
Namun hal itu, dibantah Dee Lestari, penulis yang tak asing lagi di kalangan pembaca negeri ini. Menurutnya, beberapa penulis yang melaporkan pajak royalti berdasar norma tersebut, justru ditolak kantor pajak dengan alasan NPPN hanya bisa dipakai untuk pendapatan non royalti padahal pendapatan utama seorang penulis adalah royaltinya.
Dee menilai akar masalah dari pajak penulis ini, adalah royalti dianggap penghasilan pasif. Karena penulis tidak perlu keluar modal, kecuali menerbitkan buku karyanya sendiri, penulis akan dianggap mengeluarkan modal.
Tak hanya mengkritik, Dee juga mengusulkan, jika royalti sebagai penghasilan pasif, semestinya diberlakukan pajak pemasukan pasif. Artinya tak ada lagi pajak setelah pemotongan dari pihak penerbit. Dan jika royalti dipertimbangkan sebagai penghasilan aktif, maka semestinya dikenakan norma pada seluruh pendapatan penulis tanpa terkecuali.
"Pilihan pertama lebih menggairahkan bagi saya. Bayangkan, jika para kreator diberi keleluasaan seperti itu, negara benar-benar dapat menghadirkan atmosfer kondusif bagi para penemu dan insan kreatif yang2 pekerjaannya mencipta, termasuk penulis," lanjutnya.
Pilihan lain kemudian muncul di era digitalisasi saat ini, banyak penulis yang kemudian memilih untuk menerbitkan bukunya sendiri atau menjual secara daring. Meski ada pergeseran kebiasaan membaca tapi tren ini tidak terlalu signifikan, pasalnya mayoritas masyarakat Indonesia masih memilih membaca buku secara fisik ketimbang versi digital.
Menanggapi persoalan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk mencari tahu duduk persoalan yang menyebabkan Tere Liye dan beberapa penulis lain keberatan atas pajak yang harus dibayarkannya.
Pernyataan penulis Tere Liye untuk menerbitkan bukunya kembali setelah beberapa waktu lalu menyatakan mundur dari dunia perbukuan tanah air, yang diunggah melalui akun Fanpage Facebook-nya, pada tanggal 4 April 2018, menunjukkan ada perubahan yang baik dalam peraturan pajak untuk penulis. Maka menerbitkan buku awal Juni 2018, adalah bentuk apresiasi Tere Liye kepada keputusan pemerintah dalam perubahan peraturan pajak profesi penulis.
Pajak perbukuan bukan hanya menyangkut profesi penulis, ada industri di dalamnya, penerbitan, percetakan kertas, toko buku, karyawan- karyawan di lingkungan tersebut dan sebagainya, ada banyak pekerjaan rumah, bagi sistem literasi Indonesia.
Namun perubahan ini, adalah langkah awal untuk terus mengembangkan dunia literasi Indonesia, dengan segala lika-likunya.
Sumber:
1.https://edukasi.kompas.com/read/2010/02/17/07453195/Tiras.dan.Royalti.Pokok.Masalah.Perbukuan
2. http://blog.mizanstore.com/melihat-kasus-pajak-penulis-dari-sisi-penerbit/
3. http://www.derereznotes.my.id/2017/09/gantung-pena-nya-tere-liye-antara-hobi.html?m=1.
4. https://www.wanita.me/tere-liye-kembali-ke-dunia-perbukuan/
5. http://www.konfrontasi.com/content/opini/gagasan-penghapusan-pajak-perbukuan
Artikel ini dianggit pada tantangan kesepuluh #katahatiproduction
Disusun oleh:
1. Alleyah
2. R. Cipta Anugerah Persada
3. Resti Tri Herdiyanti
4. S. Ulfanitha
![]() |
Sumber gambar :edunews |