Residu
Aroma residu dari rasa yang akan ku biarkan
Terbang bersama hembusan angin
Biarkan saja, agar tercipta ruang hati
Setawar air yang ingin ku teguk kesegarannya
Tanpa pemanis gula
Dari hidangan secangkir kopi yang pahit..
Caraku melepas dahaga
adalah melupakan meski terlupakan
Dan aku akan memaklumi perihal yang sama,
Siapapun itu tak menjadi penting
Saat paduan kata kita tercipta
Karena yang pernah singgah, Tak akan pernah lebih hebat dari akan menetap selamanya.
****
“Ukhti” sapa seseorang itu yang kini telah menjadi suamiku dari lima hari kemarin, sebuah panggilan yang masih belum berubah. Iya, belum ada obrolan untuk kesepakatan sebutan untuk sebuah panggilan mesra.
Aku dan dirinya pun lebih membiarkan waktu untuk menumbuhkan cinta hingga ia terurai dalam kata juga laku. Iya, sebelumnya kami tak saling mencintai jangankan saling mencintai, aku hanya mengenalnya sebatas saja. Begitu pun dia, aku dan dirinya dipertemukan pada satu titik kondisi yang sama meski dengan tipikal yang jauh berbeda, kami berdua memilih move on dengan mengundang. Dan ternyata yang dulu ku ucap kini menjadi nyata. Meski belum sepenuhnya, aku percaya waktu bisa menjadikannya utuh dalam nyata.
“Aku akan move on kak tenang saja, bagiku move on terindah itu dengan cara mengundang agar kelak saat dia yang mengundang, ada dia yang telah mengisi hatiku”sahutku kepada kak Herdi.
Dia adalah lelaki kedua yang kucintai setelah ayahku, dia adalah kakakku yang padanya aku nyaman berbagi curahan hati termasuk tentang sebuah kecendrungan rasa yang sayangnya dengan tidak menjadikannya rahasia dan malah menguntai perasaan lewat tutur kata, meski kepada dia yang kita percaya justru membuatku semakin mendefinisikan tentang sebuah perasaan yang semestinya tidak untuk ditanam.
Pun saat ku tahu bahwa dia yang kini menjadi suamiku memiliki kisah yang sama bahkan lebih tragis, ia pernah meminang seorang akhawat dan menentukan tanggal pernikahan tapi naasnya dari pihak akhawat tersebut justru membatalkan rencana pernikahan tersebut dengan alasan sepihak dan terdengar mengada-ngada, -restu keluarga besar- yang tak turut menyertai restu keluarga inti.
Dan belakangan ini saat ku tahu bagaimana portofolio akhawat itu, ada secuil rasa minder menyergapku apakah aku bisa menggeser posisi dia dihatinya meski aku pun sedang berusaha untuk menjadikan dia bersemayam dihatiku.
Dia yang bahkan sepintas orang mengenalnya akan sepakat menobatkan akhawat anggun kepadanya. Terlihat telaten, keibuan, rapih dan tipikal perfectsionis, sepintas luaran yang terbaca saat kali pertama ku mengenalnya. Tentu jauh berbeda dengan diriku yang ceroboh, sedikit nomboy, tergesa-gesa, pelupa dan deretan sifat semisal dengannya. Bahkan saat kubaca paragraf kriteria yang diharapkan oleh suamiku saat proses taaruf dulu, rasanya aku tak memenuhi kriteria-krteria tersebut. keibuan, bisa masak, penyayang, dan sabar. Aku bahkan sampai detik ini masih tak percaya, dia menerimaku.
Begitu pun dirinya yang calm dan tipikal yang sering ku sebut kaku, serius dan sejujurnya tipikal seperti itu bukanlah kriteriaku. Aku lebih menyukai dia yang pemberani, supel, humoris, petualang dan pencinta alam. Tapi inilah takdir yang kuyakini ada keindahan dibalik tipikal kami yang bertolak belakang. Duh aku sampai lupa, tadi dia memanggilku.
“Iya akh?”jawabku.
“Kita kok masih belum move on dari panggilan akhi-ukhti yah?”jawabnya.
“Ane sih ngemakmum aja, abis antum eh abi eh mas eh apa yah? masih panggil ane ukhti?”candaku dalam obrolan yang mulai mencair.
“Anti..Anti.. Eh ummi eh De eh apa yah?godanya mengikuti gayaku.
“Imam dilarang mengkuti !” jawabku.
“Hmm..Begitukah? bukankah kita muslim yang hakikatnya adalah pemimpin dan harus mengikuti Rasul sebagai teladan kita?”
“Kan beda konteks?”sahutku.
“Apanya yang beda?”jawabnya.
“Apa yah? Eh kita sedang ngediskusiin apa sih?”jawabku.
“Oke, kita kembali ke topik semula, jadi maunya dipanggil apa ukht?”tanya seseorang itu yang telah bernobat menjadi suami.
“Masih ukhti lagi, jadi yang belum move on siapa?”Tanyaku.
“Lha, kan belum ada kesepakatan?”
“Kok kaya yang sedang syura yah, akh?”
“Nah lho, anti juga masih manggil akh !”
“Kan belum ada kesepakatan”jawabku.
“Kapan sepakatnya? Gitu aja terus sampai doraemon nikah sama Naruto?”candanya yang ku sambut tawa.
“Oke kembali ke topik. Kamu mau aku panggil apa?”Tanyaku sambil menguntai senyum manis menggodanya.
“Cie.. kamu...kemajuan !”sahutnya.
“Iya jadi kamunya aku mau di panggil apa sama aku?”godaku.
“Cie kamunya aku, siapa sih itu?” tanyanya yang ku sambut dengan cemberut.
“Oke, Point of solution. Ummi-abi gimana? ujarnya sembari menirukan suasana persidangan.
“Interupsi..Terlalu mainstream ”jawabku sembari menggeleng kepala.
“Ayah-bunda?”
“Masih mainstream juga”.
“Ah kamu mah gitu orangnya, menepis pendapatku terus, lha kamu sendiri belum ngasih suara?”
“Abib dan Bibah !”.
Dia hanya mengernyutkan dahi sambil mencoba mencerna, maksud dari nama yang kesebutkan tadi dan lantas aku pun melanjutkan ucapanku tadi “Kepanjangan dari habibi dan habibah” tuturku yang dibalas seuntai senyum olehnya dan lantas mengetukkan jemarinya ke meja sebagai sebuah kesepakatan percis seperti seorang presidium ketika menemukan kata sepakat. Inilah sepenggal episode awal kami berdua.
“Bibahnya Abib pinter yah “sahutnya sembari mengusap-ngusap kepalaku.
Aku dan dirinya mungkin seperti Indonesia yang Anderson sebut sebagai imagined comunities yang unsur pembentuknya saling tidak mendengar dan tidak mengenal, tapi kemudian disatukan oleh satu cita-cita untuk bersama-sama dan bekerja sama mewujudkannya.