(Review) Bermonolog Untuk Menikmati Hidup Dengan Bercermin Pada Buku Jalani, Nikmati, Syukuri



Buku               : Jalani, Nikmati, Syukuri
Penulis                    : Dwi Suwiknyo
Tebal Halaman        :259 Halaman
Penerbit          : Penerbit Noktah (DIVA Press Group)



 Intro 

Tak kenal maka taaruf-an, tak bahagia maka bacalah buku ini, *bukan promosi.  Buku ini memang bukan cokelat yang kata orang bisa menghilangkan kegalauan, tetapi  buku ini bisa  mengajak kita untuk asyik tenggelam dalam perenungan, eits bukan untuk bersendu ria apalagi tenggelam dalam ratapan mengingat mantan melainkan mengajak kita untuk bahagia. Seperti tagar yang ramai kita gunakan dalam  medsos #jangan lupa  bahagia, cover buku dengan warna merah menyala ini mengajak pembaca untuk tersenyum ceria, seperti caption dalam cover ini. "tempel foto senyum kamu di sini yah"

Cover buku
Membuka Halaman prolog dari buku Jalani Nikmati Syukuri, sudah membuatku bernafas sejenak, kemudian memikirkan quotes yang terpampang di halaman depan itu.  Sebuah penggugah yang berbunyi “ Apa artinya kesibukan kalau tidak bisa kita nikmati? Apa artinya pekerjaan bergengsi tapi bikin kita mudah stress? Apa artinya kesuksesan kalau akhirnya membuat kita terkapar di rumah sakit?
Ilustrasi cerita dengan gambar

Prolog pun berlanjut pada kisah nyata, cerita tentang dia yang terlalu berorientasi pada goal hingga merenggut proses menuju goal tersebut tanpa bahagia menikmatinya.  Secara tidak langsung prolog tersebut mengajak kita untuk memainkan  Peran  dengan menikmati dan mensyukurinya. Mengupayakan bahwa kita bahagia menjalaninya. Agar hati pun diliputi perasaan tenang, tenteram, puas juga senang. Bukan tertekan dan banyak tuntutan. Buku ini memberi kunci bahwa untuk bisa menikmati, mensyukuri dan menjalani dengan tenang, prinsip – prinsip hidup yang luhur dari Allah dan Rasulnya perlu kita miliki. Agar tak terjebak pada kelelahan jiwa yang berlarut- larut. Buku ini mengajarkanku bagar memikirkan bagaimana cara kita menikmati hidup, juga bagaimana cara menyikapi hasilnya.

Tema  yang menarik perhatianku secara pribadi adalah session tentang belajar bahagia, tidak melupakan cara bahagia, belajar melepaskan dan belajar menerima agar  bahagia dalam setiap kondisi.  Bukan hanya dalam suka melainkan duka. Jika dalam suka, kita mudah untuk alpa maka dalam duka adalah satu jalan agar kita mau bercumbu mesra kepada-Nya.

Dalam Halaman 16, dengan tampilan yang penuh warna dengan design memadukan perkawinan antara masalah dan jawaban Allah atas masalah yang sering kita keluhkan.
Layout yang menarik


Seperti saat kita mengeluh. "Ah, mana mungkin bisa terjadi" maka jawaban dari-Nya adalah “Jika Aku menghendaki, cukup Aku berkata “Jadi”, maka jadilah.” (QS. Yaasiin : 82).

Dan saat kita mengeluh. "Aduh, rasanya aku letih sekali".  Maka jawaban dari-Nya adalah “.. dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahar.” (QS. An- Naba : 9 )

Lagi Saat kita mengeluh. 'Beban hidup ini rasanya berat sekali', maka jawaban dari-Nya adalah “ Aku tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al – Baqarah : 282).

Kemudian saat Kita pun mengeluh. "Ya ampun, rasanya gelisah terus".  Maka jawaban dari-Nya adalah “Hanya dengan mengingatKu, hati akan menjadi tenang.” ( QS. Ar- Rad : 28).

Lalu saat kita masih mengeluh. "Perjuanganku sia- sia saja !". Maka jawaban dari-Nya adalah “Siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji dzarrah pun niscaya ia akan melihat balasannya.” ( QS. Al – Zalzalah:7).

Lagi dan lagi saat kita mengeluh. "Aku pesimis, siapa yang akan membantuku?" maka jawaban dari-Nya adalah “ Berdoalah (minta bantuan) kepada-ku niscaya Aku kabulkan untukmu.” (QS. Al- Mukmin : 60).

Dan saat kita masih saja mengeluh “Rasanya aku sedih sekali, khawatir dan merasa takut. Maka jawaban dari-Nya adalah “….La Tahzan ( jangan bersedih), Innallaha ma’ana (sesungguhnya Allah bersama kita). (QS> At – Taubah : 40). 

Atau saat kita pun masih mengeluhkan. “Ya ampun, pekerjaan ini sulit sekali. Maka jawaban dari_nya adalah “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” ( QS. Alam Nasyrah : 6).

Dan keluh kesah itu, hampir pernah aku alami, bahkan saat menyelesaikan bacaan itu aku dalam zona sedang berkeluh kesah. Jleb, bacaan itu mengingatkanku kembali. Bahwa lelahku dan beban pikul yang sering kukeluhkan berat itu, resah juga semua gundahku tiada satu pun yang tidak terjawab oleh-Nya, hanya mungkin aku yang abai untuk mencari hikmah dibalik setiap peristiwa. Satu quotes yang menjadi penutup kunci – kunci penyikapan permasalah itu semakin mengajakku untuk bernafas lega.

Qoutes
 “Without the sad times, the happy times would not be so enjoyable”  (Tanpa masa- masa sulit, saat –saat bahagia tidak akan begitu menyenangkan.  Aku pun menirukan jargon Ip*n dan  Up*n. “Betul, betul, betul” saat menutup session itu. Iya, aku pun menganggukan kepala. Karena benar telah mengalami, bahwa duka yang kita rasakan adalah sumber senyum bahagia saat suka menyapa.



Bercermin

Berikutnya, buku jalani nikmati dan syukuri ini pun mengajak kita untuk bercermin dan menilai diri kita sendiri. Pembuka bab dari tema buku ini, kita disuguhi quotes yang menarik “ Hanya Allah yang tahu atas kebenaran apa – apa yang tampak dan apa- apa yang tersembunyi !”.  Kemudian pembaca diajak untuk merenung pada kisah nyata yang disajikan penulis tentang penilaian akan tampilan. Kisah tentang seorang penulis yang tertipu akan penampilan  “ustadz” dari calon orang yang akan bermitra dengannya untuk menjual buku – buku penulis tersebut. Padahal susah payah ia mengumpulkan modal untuk bisa menerbitkan buku dan jauh sbelum kesepkatan itu terjalin, ia pun telah berhasil menjual buku dan memasarkan bukunya sampai tingkat nasional. Karena ucapan dari ”sang ustadz itu” yang fasih dalam merafal kalimat thayyibah dan selembar cek yang ditawarkan akhirnya memikat penulis tersebut untuk percaya dan bermitra denganya, sampai kemudian ia menyadari bahwa cek yang terima hanyalah cek kosong dan dia telah masuk dalam tipuan dari seorang ustadz gadungan itu. Kisah tersebut pun, penulis memberikan point bahwa tidak selamanya akhlak seornag itu sebaik pakaian yang dikenakannya, pun dengan integritas yang tidak hanya diukur dari pekaian semata karena nilai diri  dari seseorang terpancar dari akhlaknya. Pada akhirnya session subtema ini berhasil mengajakku untuk bermonolog, “jangan- jangan selama ini jalan hijrahku hanya berganti kulit?”


Setelah bercermin akan penilaian diri, buku ini pun mengajak untuk menilai diri dari dalam. Menelaah apa yang tersembunyi, seperti benci. Benci yang bisa menjadi racun atau benci yang menjadi energy positif.  Untuk benci yang menjadi racun maka ini  yang berbahaya. Maka  kiat yang ditawarkan dari buku ini adalah berdamai dengan diri sendiri  juga berdamai dengan orang yang secara sengaja atau tidak melukai hati kita.  Selanjutnya cara berdamai dengan diri dari mereka yang sengaja atau tidak sengaja melukai hati kita, bisa ditemukan dari sub tema tentang seni memaklumi dengan tiga rumus seni memaklumi. Pertama  maklum karena ia tidak sengaja. Kedua, maklum karena ia belum faham dan ketiga maklum karena ia belum tahu caranya. Cermin selanjutnya dari buku ini adalah tentang kita dan sekitar. Tentang haters yang bisa jadi kehadirannya adalah anugerah

Epilog
Apakah bahagia itu bersyarat? Bila iya, cukuplah rasa syukur sebagai syaratnya. Termasuk bersyukur ketika diuji. Bersyukur saat diuji, sebab diberi kesempatan untuk naik level. Bersyukur ketika diuji, sebab ada tantangan baru yang menanti. Perjalanan bermonolog dengan buku ini akan membangkitkan refleksi diri kita tentang sejauh mana rasa syukur kita dalam menikmati hidup.


Sebuah Sapa, Satu Episode dari Cintaku Bersemi dipelaminan


Residu
Aroma residu dari rasa yang akan ku biarkan
Terbang bersama hembusan angin
Biarkan saja, agar tercipta ruang hati
Setawar air yang ingin ku teguk kesegarannya
Tanpa pemanis gula
Dari hidangan secangkir kopi yang pahit..

Caraku melepas dahaga
adalah melupakan meski terlupakan
Dan aku akan memaklumi perihal yang sama,
Siapapun itu tak menjadi penting
Saat paduan kata kita tercipta
Karena yang pernah singgah, Tak akan pernah lebih hebat dari akan menetap selamanya.

****
“Ukhti” sapa seseorang itu yang kini telah menjadi suamiku dari lima hari kemarin, sebuah panggilan yang masih belum berubah. Iya, belum ada obrolan untuk kesepakatan sebutan untuk sebuah panggilan mesra. 

Aku dan dirinya pun lebih membiarkan waktu untuk menumbuhkan cinta hingga ia terurai dalam kata juga laku. Iya, sebelumnya kami tak saling mencintai jangankan saling mencintai, aku hanya mengenalnya sebatas saja. Begitu pun dia, aku dan dirinya dipertemukan pada satu titik kondisi yang sama meski dengan tipikal yang jauh berbeda, kami berdua memilih move on dengan mengundang. Dan ternyata yang dulu ku ucap kini menjadi nyata. Meski belum sepenuhnya, aku percaya waktu bisa menjadikannya utuh dalam nyata.

“Aku akan move on kak tenang saja, bagiku move on terindah itu dengan cara mengundang agar kelak saat dia yang mengundang, ada dia yang telah mengisi hatiku”sahutku kepada kak Herdi.

Dia adalah lelaki kedua yang kucintai setelah ayahku, dia adalah kakakku yang padanya aku nyaman berbagi curahan hati termasuk tentang sebuah kecendrungan rasa yang sayangnya dengan tidak menjadikannya rahasia dan malah menguntai perasaan lewat tutur kata, meski kepada dia yang kita percaya justru membuatku semakin mendefinisikan tentang sebuah perasaan yang semestinya tidak untuk ditanam.

Pun saat ku tahu bahwa dia yang kini menjadi suamiku memiliki kisah yang sama bahkan lebih tragis, ia pernah meminang seorang akhawat dan menentukan tanggal pernikahan tapi naasnya dari pihak akhawat tersebut justru membatalkan rencana pernikahan tersebut dengan alasan sepihak dan terdengar mengada-ngada, -restu keluarga besar- yang tak turut menyertai restu keluarga inti.

Dan belakangan ini saat ku tahu bagaimana portofolio akhawat itu,  ada secuil rasa minder menyergapku apakah aku bisa menggeser posisi dia dihatinya meski aku pun sedang berusaha untuk menjadikan dia bersemayam dihatiku.

Dia yang bahkan sepintas orang mengenalnya akan sepakat menobatkan akhawat anggun kepadanya. Terlihat telaten, keibuan, rapih dan tipikal perfectsionis, sepintas luaran yang terbaca saat kali pertama ku mengenalnya. Tentu jauh berbeda dengan diriku yang ceroboh, sedikit nomboy, tergesa-gesa, pelupa dan deretan sifat semisal dengannya. Bahkan saat kubaca paragraf kriteria yang diharapkan oleh suamiku saat proses taaruf dulu, rasanya aku tak memenuhi kriteria-krteria tersebut. keibuan, bisa masak, penyayang, dan sabar.  Aku bahkan sampai detik ini masih tak percaya, dia menerimaku.

Begitu pun dirinya yang calm dan tipikal yang sering ku sebut kaku, serius dan sejujurnya tipikal seperti itu bukanlah kriteriaku. Aku lebih menyukai dia yang pemberani, supel, humoris, petualang dan pencinta alam. Tapi inilah takdir yang kuyakini ada keindahan dibalik tipikal kami yang bertolak belakang. Duh aku sampai lupa, tadi dia memanggilku.

“Iya akh?”jawabku.
“Kita kok masih belum move on dari panggilan akhi-ukhti yah?”jawabnya.
“Ane sih ngemakmum aja, abis antum eh abi eh mas eh apa yah?  masih panggil ane ukhti?”candaku dalam obrolan yang mulai mencair.
“Anti..Anti.. Eh ummi eh De eh apa yah?godanya mengikuti gayaku.
“Imam dilarang mengkuti !” jawabku.
“Hmm..Begitukah? bukankah kita muslim yang hakikatnya adalah pemimpin dan harus mengikuti Rasul sebagai teladan kita?”
“Kan beda konteks?”sahutku.
“Apanya yang beda?”jawabnya.
“Apa yah? Eh kita sedang ngediskusiin apa sih?”jawabku.
“Oke, kita kembali ke topik semula, jadi maunya dipanggil apa ukht?”tanya seseorang itu yang telah bernobat menjadi suami.
“Masih ukhti lagi, jadi yang belum move on siapa?”Tanyaku.
“Lha, kan belum ada kesepakatan?”
“Kok kaya yang sedang syura yah, akh?”
“Nah lho, anti juga masih manggil akh !”
“Kan belum ada kesepakatan”jawabku.
“Kapan sepakatnya? Gitu aja terus sampai doraemon nikah sama Naruto?”candanya yang ku sambut tawa.
“Oke  kembali ke topik. Kamu mau aku panggil apa?”Tanyaku sambil menguntai senyum manis menggodanya.
“Cie.. kamu...kemajuan !”sahutnya.
“Iya jadi kamunya aku mau di panggil apa sama aku?”godaku.
“Cie kamunya aku, siapa sih itu?” tanyanya yang ku sambut dengan cemberut.
“Oke, Point of solution. Ummi-abi gimana? ujarnya sembari menirukan suasana persidangan.
“Interupsi..Terlalu mainstream ”jawabku sembari menggeleng kepala.
“Ayah-bunda?”
“Masih mainstream juga”.
“Ah kamu mah gitu orangnya, menepis pendapatku terus, lha kamu sendiri belum ngasih suara?”
“Abib dan Bibah !”.

Dia hanya mengernyutkan dahi sambil mencoba mencerna, maksud dari nama yang kesebutkan tadi dan lantas aku pun  melanjutkan ucapanku tadi “Kepanjangan dari habibi dan habibah” tuturku yang dibalas seuntai senyum olehnya dan lantas mengetukkan jemarinya ke meja sebagai sebuah kesepakatan percis seperti seorang presidium ketika menemukan kata sepakat. Inilah sepenggal episode awal kami berdua.
“Bibahnya Abib pinter yah “sahutnya sembari mengusap-ngusap kepalaku.

Aku dan dirinya mungkin seperti Indonesia yang Anderson sebut sebagai imagined comunities yang unsur pembentuknya saling tidak mendengar dan tidak mengenal, tapi kemudian disatukan oleh satu cita-cita untuk bersama-sama dan bekerja sama mewujudkannya.