Dan berbagai genre buku pun mewarnai pasaran, fiksi dan non fiksi adalah peng-kategori-an yang paling sederhananya. Dan Novel masih menempati ruang spesial bagi para penikmatnya. Terlepas dari berbagai macam genre Novel, Novel kerap menjadi buku yang paling laris di pasaran. Menjadi teringat kutipan dari sebuah status yang di posting oleh mas Dwi Suwiknyo, postingan yang menginspirasi saya untuk menulis ini, dan abaikan kalimat ketiganya jika dengan membaca kalimat ketiganya membuat anda baper hehe.
"Bacalah buku sastra agar hatimu peka, betapa banyak masalah kemanusiaan yang harus kita rampungkan." (Sastrawan)
"Bacalah buku yang tebal, betapa banyak halaman yang harus kita baca, setebal itu pula ilmu yang akan kita dapatkan." (Dwi Suwiknyo)
"Bacalah buku tabungan agar engkau bersiap-siap, betapa banyak uang yang harus dikumpulkan untuk menggelar acara walimah." (Jomblo Galau)
In my humble opinion, para penikmat buku tak mesti membatasi diri dalam jenis buku santapannya. Menjadi seorang yang general dalam menikmati buku. Saya sempat menjadi orang yang pernah membatasi buku bacaan, membatasi diri untuk tidak menggandrungi buku yang ber-genre-kan novel. Padahal awal mula saya mencintai membaca adalah dari novel. Mungkin saya sempat menjadi kacang yang lupa pada kulitnya. Hiks maafkan. Beberapa alasan yang membuat saya mem-pensiun-kan diri adalah karena ingin keluar dari zona yang melankolis dan ingin mulai berfikir analitik, tidak tenggelam dalam roman picisan dan meng-explore dunia lain hehe. Tapi belakangan, saya mulai kembali ke jalan benar karena tak selamanya novel hanya roman picisan saja. Berbicara masalah Novel yang masuk dalam kategori fiksi, sekalipun dia (novel ) fiktif tapi kerap dia begitu imformatif.
Saya pribadi mendapatkan detail informasi tentang sesuatu lebih banyaknya dari sebuah Novel, misalnya dari novel Ayat-ayat Cinta, detail tentang Mesir dan ragam budayanya lebih saya dapatkan dari novel yang menjadi best seller tersebut, ketimbang artikel atau bahkan mengalahkan cerita dari orang yang pernah menginjakkan kaki kesana. Benar saja, bahwa pengalaman yang kita bisikkan pada lembaran kertas dan kita poles dengan bahasa sastra, jauh lebih hidup dari cerita lisan yang kita sampaikan. Mungkin ini menjadi alasan, asumsi tentang tulisan berlanjut bahwa tulisan lebih dari sekedar abadi. Dari sanalah para penikmat buku mulai memanjangkan jangkauannya, korelasi yang saling mempengaruhi, dari mulai membudayakan membaca biasanya akan melahirkan insting ingin menulis.
Satu dua bahkan ribuan ynag telah diketik lalu delete yang kau temui adalah bagian dari seninya menari diatas keyboard. Teruslah menari, Olah saja tulisanmu, sampai tarian jemarinya menemukan harmonisasi aksara yang indah. Tak perlu risau dengan view yang tak kunjung meningkat, dengan tulisan yang gagal maning-gagal maning dalam perlombaan. Atau karya yang terus ditolak oleh pacar (read: penerbit). Tugasmu hanya dua, Baca dan menulislah. Cukup intensifkan, interaksi sebagai penikmat buku. Berdialog dengan cara bermonolog. Cara asyik memilih telinga bumi adalah dengan berbisik pada tulisan. Sedang kau perlu banyak buku yang harus kau baca, untuk bisa menuliskan satu paragraf. Maka sebanyak itulah pengkali kuadrat buku yang harus kau baca untuk menulis satu topik bahasan. Dan kabar baiknya minat dan ketekunan bisa mengalahkan bakat.
4 komentar
komentarYap, kata Clara Ng kita gak boleh membatasi bacaan kita. Baca buku-buku lokal doang, misalnya. Kita juga mesti baca buku luar, terutama untuk mereka yang memang pengin untuk jadi penulis terkenal. Parahnya, masih banyak yang hanya terpaku bahkan hanya pada genre tertentu saja. Ya...
Replybenar mba,bahkan mungkin genre yang tidak kita sukai pun perlu kita baca, nah PR saya nih baca buku terbitan Luar,
ReplySetuju, karena dengan membaca kita jadi menambah wawasan kita
Replysepakat mba racha :)
Reply