Ketika Wanita Menjadi Arsitek peradaban di Parlement


 Tak terbantahkan lagi bahwa sang arsitek peradaban itu bisa juga bernama wanita, bukan karena semata darinya  lahir setiap orang-orang hebat itu yang kelak akan mengubah dunia tapi bagaimana peranannya baik sebagai sekolah pertama dalam miniature peradaban (keualrga) atau peranannya langsung di medan juang baik dalam ranah  social, pendidikan, politik ,budaya dan atau yang lainnya. Dan inilah kehebatan seorang wanita. Ketika tangan kanannya menggendong ayunan maka tangan kirinya mampu mengguncang dunia.  Wanita diberi kelebihan multitasking. Peranannya diluar domestik tak menjadi mengapa karena dunia wanita tak hanya sebatas sumur, dapur dan kasur selama kaidahnya terpenuhi bahwa kewajiban yang satu tak harus meninggalkan kewajiban yang lain. Mengutip rumus Einsten bahwa dalam kehidupan, kerap selalu ada nilai kontanta yang mutlak juga relatifitas yang bisa jadi nilainya berubah-ubah. Dalam konteksnya adalah seberapa tinggi pun jabatan struktural yang dimiliki oleh seorang wanita, dalam keluarga kendali bahtera tetap pada pria. Rumus itu pun berlaku juga untuk konteks prinsip politik, ada nilai mutlak yang tidak bisa diganggu gugat, ada pula nilai relatifitas yang bisa berubah dan diperlukan  penyesuaian diri agar tetap pada on the track-nya.
Berbicara masalah ke-berpartisipasian-nya seorang wanita dilaur ranah dometik memang menarik, terlebih dengan isu emansipasi yang nyaring mendengungkan kesetraan gender. Kehadiran wanita dalam parlemen misalnya diharapkan tidak sekedar memenuhi kuota komposisi semata tetapi juga memberikan warna politik. Bagaimana dia bisa menjadi peng-ubah dalam melakukan legislasi dan memiliki daya tawar untuk turut serta menyelesaikan permasalahan bangsa, khususnya isu wanita. Pada periode 1997-1999 perempuan yang menjadi ang- gota DPR RI berjumlah 54 o- rang dari 500 anggota (10,8%). Pada 1999-2004 jumlahnya 45 orang dari 500 anggota (9%).
Dengan semangat mendorong kuota 30% di parlemen, terjadi peningkatan jumlah anggota DPR pada periode 2004-2009, yaitu menjadi 61 orang (11,6%), dan pada pe riode 2009-2014 meningkat lagi menjadi 103 orang. Namun berbeda pada pariode 2014-2019, tren partisipasi parlementer wanita mengalami penurunan menjadi  97 atau sebesar 17, 32%. [1]
Kehadiran wanita di parlemen diharapkan bukan sekedar tuntutan porsi untuk komposisi menuju 30%. Ketika wanita tidak dipersiapkan secara mental dan pemahaman, dikhawatirkan kehadirannya disana hanya sebagai pelengkap saja atau bahkan yang paling mengerikan dijadikan korban atau tumbal politik akibat sebuah kepolosan sikap dan ketidakmengertian menyikapi keputusan politik yang harus dilakukan.
Wanita yang ketika kodratnya sebagai Ibu telah menjadikannya pandai mengatur keuangan rumah tangga, dan bukankah sifat itu dibutuhkan di senayan guna menghasilkan Rancangan Anggaran dan pendapatan Belanja Negara yang efektif dan Efisien. Wanita yang secara naluriah berjiwakan lemah lembut bisa mewarnai perpolitikan parlemen yang penuh dengan dinamika yang menguras fikiran dan emosi. Betapa kita mengharapkan dengan adanya suara-suara wanita di parlement bisa menepis suara bising dan kegaduhan di senayan, meski memang seharusnya senayan tidak boleh hening dan harus menjadi tempat yang gaduh untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Namun setidaknya kehadiran wanita di parlemen bisa menghindarkan adanya kegaduhan yang dipadukan dengan pacuan emosi yang menguras otot dan energi.
Masyarakat merindukan kehadiran wanita yang menjadi arsitek peradaban di parlement, Diplomat yang piawai mengaspirasikan keluh kesah masyarakat yang darinya tercipta output legislasi yang berpihak dan menyelesaikan permasalahan masyarakat, menjawab permasalah human tracfikking, kekerasan terhadap anak, kemiskinan, pendidikan dan segudang permasalahan lainnya.


[1] Data dari Perludem (Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi
Satu Putri, dua Raja

Satu Putri, dua Raja


Aku adalah putri, seorang wanita biasa, bukan putri dari negri dongeng bahkan putri dari Hutama. Banyak hal yang tak aku sukai menjadi bagian dari Keluarga Hutama, adalah hal yang ku benci, pencitraan aku sebagai seorang putri yang harus  diperlakukan emas dan harus mendapatkan perhatian ekstra . Aku hanya ingin menjadi putri, seorang wanita biasa, bersahabat dengan siapapun dan apapun, bisa menikmati rinai hujan dengan bebasnya, mengendarai kuda bermesian roda dua, menikmati semilir angin malam dalam nuansa alam yang bersahabat, menaiki bukit terjal dan menjejakkan kaki di puncak gunung, melakukan apa yang aku sukai bukan melakukan apa yang menurutnya “aman”.

“Pah, aku mau ikut club volley yah disekolah?”Tanyaku
“Jangan Put, nanti kamu kecapaian olahraga berat seperti itu, mending kamu ikut les musik atau memasak saja?” jawab Sang komandon.

Sudah kuduga, jawaban seperti itu yang akan diberikan olehnya, entahlah kenapa background milter yang begitu kuat melekat pada ayahku tak lantas menjadikannya mendidikku secara “keras” tapi justru sebaliknya seringnya aku mendapati larangan-larangan semisal itu. Mungkin iya keras, keras dalam hal pelarangan  yang  justru menurutku lebih mirip sebagai pengukungan.

Dari semenjak aku kecil hingga saat ini, entah berapa banyak inginku  yang  terlewatkan , jika benar aku seorang putri seperti sangkaan mereka, kenapa terlalu banyak hal yang kuinginkan  tak bisa ku raih? aku yang tak bisa bermain lumpur-lumpuran,bermain hujan-hujanan,bermain riang di tengah terik matahari dan permainan lainnya.Setiap kali ku dekati teman-temanku, mereka menolaku dengan dalih takut mendapat marah jika aku dilibatkan dalam permainan mereka dari baby sisterku yang super  ketat menjagaku. Begitu pun masa remajaku. pernah ketika aku ingin ikut camping yang merupakan kegiatan yang wajib diikuti oleh semua siswa, pembina pramuka pun bisa memaklumi dengan mudahnya saat Ayahku langsung yang meminta ijin agar aku bisa untuk tidak mengikuti kegiatan Camping. Jika benar aku adalah putri, adakah putri yang terkurung dalam istananya sendiri?

Putri dari negri dongeng selalu menceritakan keindahannya, sang tokoh laksana seorang putri yang nyaris sempurna tanpa celah dan aku bukanlah putri dari negri dongeng tersebut. Tapi entah karena alasan apa, opini publik mencitrakanku bak seorang putri. Kadang ku dengar  bisikian yang menurutku berlebihan. Putri kamu itu beruntung keluarga yang harmonis dan menyayangimu, perhatian, kehidupan yang mapan, dan seabreg lainnya yang mereka sebut sebagai keberuntungan.





Tanpa mereka tahu bahwa aku disini tak bisa menikmati bebas setiap inginku. Bahkan aku pun bukan putri Hutama si anak tunggal yang penuh dengan keberuntungan itu. Dan sebelum aku tahu kenyataan yang sesungguhnya itu,  sudah sempat terbesit untuk keluar dari singgasana itu, untuk mencari sebuah angin kebebasan tapi ketika justru alasan telah aku temukan untuk meninggalkan istana itu dan menjemput Raja yang sesungguhnya, semuanya menjadi terasa berat. Teramat berat.

Ada rahasia besar di balik jati diriku yang baru saja ku ketahui, dan sangat ingin ku katakan tentang siapa Putri yang sesungguhnya. Tentang putri yang sesungguhnya tak seberuntung yang mereka kira,  Dulu aku masih samar melihat  arti sebuah ketulusan seorang kawan, karena ada nama Hutama dipundakku betapa banyak rangkulan yang ku dapatkan, namun jika kelak nama itu ku tinggalkan, masihkah mereka merangkulku? Aku sama sekali tak takut untuk kehilangan perhatian dan perlakuan emas mereka karena justru itulah yang aku harapkan agar ku bisa merasakan indahnya ketulusan yang sebenarnya dan tak terjebak pada keasingan dunia. Hutama yang selama ini ku panggil “papa”. Iya, aku bukanlah anak kadung darinya melainkan keponakan dari  Neysea, seseorang yang juga selalu ku panggil dengan sebutan “mama”. Iya aku adalah anak dari kakak kandungnya, “Mama Neysea” adalah adik dari ibuku yang telah meninggal. Dia menggantikan posisi kakaknya dengan sangat sempurna sesuai dengan amanah ibuku kepadanya.

Dia rela berbohong kepada Hutama demi aku, Neysea   berbohong padanya bahwa sebelum menikah dengan hutama, dia telah menikah dan akulah buah hatinya itu.Tak ada pilihan lain baginya selain berbohong, karena jika Hutama tahu bahwa aku adalah anak dari Hendra yang tak lain adalah Ayahku, Neysea khawatir dia menolak kehadiran putri dan mengabaikannya. Karena sepeninggal ibuku, ayahku menjadi rivalnya dalam mempersunting Neysea tapi karena nenek dan kakekku kecewa kepada ayahku yang lalai dalam menjaga ibuku. Ayahku disebut sebagai dalang kematian Ibuku, dia  yang menyebabkan ibuku jatuh saat hamil besar dan melahirkanku bukan pada waktunya dan juga membuatnya pergi untuk selamanya. Maka nenek-kakekku pun memilih Hutama sebagai pendamping Neysea. Tentu ayahku pun sedih, bukan karena  tak bisa mempersunting Neysea, yang menyakitkannya adalah  ia tak di izinkan untuk merawat anaknya sendiri oleh orangtua Neysea dan hal inilah yang membuatnya pergi ke luar kota untuk menumpahkah dan menghapus segala kesedihannya.

Selidik demi selidik Neysea pun tahu bahwa ayahku berkali-kali mencari informasi keberadaanku lewat nenek-kakekku, tapi mereka tak memberikan informasi yang di cari ayahku itu dengan alasan takut mengganggu rumah tangga Hutama. Ayah ku pun menjanjikan untuk tak menganggu rumah tangga Hutama tapi tetap saja nenek kakekku tak luluh-luluh juga maka ayahku pun meninggalkan jejak dan berharap aku bisa menemuinya.




Dan diam-diam aku pun menemuinya,tentu hanya Mama Neysea yang mengetahui kenekatanku karena dialah sumber informasi untuk aku bisa bertemu dengan rajaku yang sesungguhnya. Mama Neysea sangat memahami, bagaimana pun sejarah itu tak dapat dihapus dan aku memang harus mengetahui siapa raja yang sebenarnya. Saat ku menemuinya, berkali-kali airmata ini berderai.

Pertemuan yang sungguh mengharukan .Aduhai rabbi wajahnya itu menyiratkan kerinduan yang sangat. Aku ingin terus bersamanya, begitupun rajaaku, dia sangat mengharapkan keberadaanku di sampingnya.Tapi bagaimana dengan papa dan mamaku? Bukankah dia juga raja dan ratu diistanaku? Aku tak mungkin melupakannya. Iya, aku baru tersadar sekarang, bagaimana pun Papa Hutama begitu menyangiku, semua larangan itu adalah demi kebaikanku. Karena nyatanya aku adalah seorang pesakitan yang sangat tidak boleh kecapaian. Dan ini pun baru aku ketahui, itu semua adalah efek dari benturan keras saat ibuku hamil dulu, terkait apa nama penyakitku, lidahku terlalu sukar melafalkan istilah medisnya, aku tak berniat sama sekali untuk menghafal jenis penyakit itu, entahlah aku masih ingin merasa diriku seorang yang sehat, sejak dari dulu aku tak ingin berkawan dengan rumah sakit, tempat yang selalu justru mensuggesti orang sebagai orang sakit.

Mungkin Mama Neysea akan memakluminya tapi Papa? dia yang masih belum tahu bahwa aku bukanlah anak kandung dari Mama Neysea melainkan anak dari rivalnya dulu, Dia yang tak tahu bahwa aku pun telah menemui rajaku.. Aku dibuat bingung dengan semuanya.  Tapi  hati membisikan bahwa aku harus berterus terang akan semuanya. Bukankah kejujuran yang pahit lebih baik dari kebohongan yang indah? aku pun putuskan untuk jujur padanya jujur bahwa aku telah menemukan istana yang lain.. Jujur bahwa aku adalah anak dari rivalnya. Jujur bahwa aku ingin tinggal di istana baruku dan jujur bahwa aku pun akan tetap menyayanginya.Tapi setelah kejujuran itu, ia terdiam membisu.Tak ada respon bahkan saat rajaku bersuara untuk meminta maaf,  jika dengan kehadirannya telah menjadikan suasana tak nyaman, dan ia pun masih membisu.

Aku masih di istana lamaku, tapi suasana hening masih tetap berlangsung, papaku menjadi seorang pendiam bahkan ia pun sangat jarang bertegur sapa denganku ataupun Mama Neysea dan aku  tak bisa meninggalkan istanaku ini dalam keadaan seperti ini.Sampai sutu massa ku coba kembali untuk bicara dari hati ke hati. Saat ku tanya apakah ia marah akan kebohonganku dan Mama Neysea? Papa pun menggelengkan kepala. Lantas aku pun bertanya kembali, akan prihal yang membuatnya berubah seperti ini? Kembali hening tak ada jawaban. Setelah lama membisu, aku pun kembali bersuara

“Pah  jika papa marah padaku, katakanlah? tapi Putri mohon Papa jangan diamkan kami seperti ini, terlebih mama, Putri harap  Papa tak membencinya?”tanyaku yang berasumsi bahwa Papaku kecewa kepada Mama Neysea. Dan kali ini ia pun bersuara
“Putri, papa sama sekali tak membenci Mamamu ataupun marah kepadamu, Sekalipun papa sempat merasa kecewa”jawabnya

“Lalu kenapa papa diamkan kami seperti ini, apa papa takut ayahku mengambil mama. Itu tak akan Pah, karena yang ayah harapkan hanya kehadiran Putri” Sahutku.
“Bukan Mamamu yang Papa khawatirkan tapi kamu putri, kamu yang papa khawatirkan”jawabnya yang membuat air mataku berderai.

Sungguh aku merasa menjadi seorang putri yang sesungguhnya, sekarang cukup dengan kasih sayang keluargaku aku sudah merasakan indahnya istana itu. Bahkan aku memiliki dua istana sekaligus. Dalam keharuan itu ku katakana padanya dengan atau tanpa aku tinggal di sini aku akan tetap menyanyanginya.

Semua menjadi berat saat ku melepas nama marga yang dulu sempat ingin ku lepas. Aku pun menyesali sikapku yang pernah salah menafsirkan kasih sayangnya yang ku anggap sebagai pengukungan diri. Kini saatnya ku jalankan tugas baruku untuk berbakti kepada rajaku yang sesungguhnya tanpa menghilangkan bakhtiku kepada Papaku.