Sebagai
pembuka awalan dari review buku yang
fenomenal ini, ada dua hal yang ingin saya sampaikan, pertama bahwa review ini
tidak bercerita tentang garis besar atau synopsis buku ini ( ingin tahu = baca bukunya)
melainkan pelajaran yang saya dapat dari membaca buku ini. Kedua, tentang saya
sebagai individu subyektif yang memiliki preferensi sendiri dalam bacaan. Iya,
saya adalah tipe orang yang tidak tertarik membaca atau mencari tahu lebih
dalam tentang satu hal berdasarkan penilaian banyak orang, seperti label “Best
Seller” atau direkomendasikan oleh banyak orang sebagai buku yang menarik. Rekomendasi dosen saja sering saya hiraukan, apalagi rekomendasi
dari banyak orang yang gak dikenal hehe. Ada beberapa
buku yang membuat saya larut dalam bacaan sampai memunculkan jiwa kepo saya
kepada penulisnya jauh sebelum saya mengetahui bahwa buku tersebut ditulis oleh
seorang penulis kenamaan, atau buku tersebut kedepannya adalah calon – calon
best seller. Iya, sebut saja buku Saksikan Bahwa Saya Seorang Muslim yang saya
baca jauh sebelum tahu siapa itu Ust Salim A Fillah juga jauh sebelum buku
tersebut menjadi rujukannya bacaan para ADK. Pointnya, kadang saya lebih bisa
meresapi sebuah isi dari buku ketika tidak berekspektasi apapun tentang buku
tersebut. Tetapi berbeda dengan buku yang akan saya review ini, rasa penasaran
saya berawal dari rekomendasi teman juga tentang ramainya buku ini sebagai
perbincangan para pecinta buku. Dan setelah saya selesai sampai kholas membaca
buku ini dengan durasi waktu satu minggu-an karena modal pinjaman, selang
beberapa bulan saya pun tertarik membeli meskipun sudah membaca buku tersebut, tentunya
memiliki sendiri sebagai asset lebih
asyik dong ketimbang pinjaman yang tentunya harus dikembalikan.
Nah
berangkat dari pandangan kedua saya tadi yang pointnya tentang pandangan dan
keputusan, ini seperti hal inti yang diajarkan dari buku yang akan direview ini. Buku sebuah Seni Bersikap
Bodo Amat dengan judul asli “The Subtle Art Of Not Giving a f*ck” yang merupakan karya dari Mark Manson. Buku
yang garis besarnya mengajarkan untuk bersikap bodo amat dengan pandangan
orang, ocehan orang atau bahkan standar hidup yang dibentuk oleh mayoritas
orang dimuka bumi. Bodo amat bukan berarti acuh tak acuh dan abai akan segala
hal, karena pada dasarnya naluri setiap manusia adalah memedulikan sesuatu,
tapi tentang bagaimana kita memilih dengan selektif apa yang penting dan tidak
penting untuk kita pikirkan. Karena pada akhirnya memang setiap keputusan
bahkan tentang apa yang kita rasakan adalah buah dari pilihan.
Buku ini memang menarik, buku pengembangan diri yang anti mainstream, banyak sekali buku pengembangan diri yang justru mengulas kisah – kisah sukses atau motivasi diri agar hidup menuju kesuksesan tetapi berbeda dengan buku ini, bahkan beberapa judul dari subtemanya pun sungguh menggelitik seperti “Jangan Berusaha” atau “Anda Tidak Istimewa”. Buku ini menyadarkan saya bahwa menjadi orang yang biasa saja adalah istimewa, hal ini adalah seperti antithesis dari banyak sekali fakta dilapangan bahwa kita sering disuguhkan bahwa menjadi orang yang luar biasa adalah istimewa.
Ada
beberapa pernyataan yang menarik yang saya kutip dari buku ini “ Hasrat untuk
mengejar semakin banyak pengalaman positif sesungguhnya adalah sebuah
pengalaman negative. Sebaliknya, secara paradoksal, penerimaan seseorang
terhadap pengalam negative justru merupakan sebuah pengalaman postif”.
Inti dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa upaya untuk menghindari penderitaan adalah bentuk penderitaan. Upaya untuk menghindari susah payah adalah susayah payah. Pengingkaran terhadap kegagalan adalah kegagalan. Usaha untuk menyembunyikan rasa malu adalah bentuk rasa malu itu sendiri.
Buku
ini memang mengajarkan tentang kita yang tak mesti menjadi seorang yang luar
biasa dengan melakukan penerimaan diri yang bukan berarti kita harus rendah
diri. Tetapi menerima setiap penderitaan dan tidak menghindar dari merasakan
penderitaan tersebut adalah bagian diri menjadi lebih baik. Karena kita tidak
benar – benar tahu mana yang disebut pengalaman positif dan mana yang negative.
Daripada berusaha menjadi benar setiap saat, sebaiknya kita cari tahu bagaimana
kita bisa keliru setiap saat.
Buku
ini pun mempopulerkan budaya “Bodo amat” yang entah benar atau salah. Termasuk saya
sendiri yang bersikap bodo amat dengan menghindar dari peduli yang akhirnya
tidak berhasil. Berusaha untuk tidak memikirkan padahal itu artinya kita tengah
berfikir. Karena menapikan diri dari apa yang sedang saya rasakan adalah
kesalahan . Setelah kemudian saya memilih untuk menerima diri bahwa saya memang
peduli terhadap hal tersebut, saya pada akhirnya bisa bodo amat dan merdeka
dari hal tersebut, apapaun yang berkaitan dengan hal tersebut pada akhirnya
tidak memberi pengaruh apapun terhadap apa yang saya fikirkan dan rasakan.
Conclusion,
buku ini memang mengajak kita menyelami diri kita sendiri dan berdamai dengan
apa yang kita fikirkan dan rasakan untuk kemudian meutuskan apa yang harus kita
pilih.