Pembela Bangsa dan Penegak Agama Bukan Sebuah Pilihan




Sejarah telah mencatat bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tidak lepas dari peran para pahlawan dimana para ulama dan umat memiliki andil besar dalam perjuangan melawan penjajah dan meraih kemerdekaan Indonesia, saat itu mereka bisa dikatakan sebagai pejuang bangsa dan penegak agama. Dan keduanya bukanlah pilihan melainkan kewajiban yang satu sama lainnya saling mempengaruhi.
“Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak bersebrangan, nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan” (KH. Hasyim Asy’ari). Nasehat sang Kyai tersebut benar adanya, bahwa menjadi muslim yang seutuhnya dalam membela Agama akan sekaligus membentuk seorang negarawan dan membangun bangsanya. 
Agama  merupakan entitas nilai moral dan keyakinan yang justru mampu mendorong setiap pengikutnya untuk berjuang mempertahankan ideologi mereka. Dan disisi lain, negara sebagai tatanan nilai kedaulatan suatu bangsa sangat memiliki arti penting bagi keberlangsungan kehidupan keberagama-an mereka, lalu kemudian keduanya membentuk irisan. Semangat menegakkan agama dan mempertahankan kedaulatan negara bisa berjalan berdampingan  dan menjadi suatu kesatuan yang utuh yang tak bisa ditawar-tawar dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Seorang agamawan bisa pula menjadi seorang negarawan, menjadi sebuah kesalahan apabila memisahkan kehidupan agama dengan negara sebagaimana semangat keagamaan yang ditunjukkan oleh umat Islam ternyata mampu memperkuat eksistensi kedaulatan bangsa dan negara Indonesia  dari zaman penjajahan hingga masa reformasi sekarang.
Maka sudah semestinya, momentum kemerdekaan yang ke-75 ini, kita kembali merefleksi tentang perjuangan para pahlawan kita yang dengan semangat patriotnya mampu menegakan agama dan membela bangsa hingga Indonesia bisa meraih kemerdekaannya. Telah ratusan kali kita berdiri mengheningkan cipta dan mengikuti upaca peringatan pengibaran bendera merah putih namun tak cukup sampai untuk mengantarkan kita pada sejarah baru yang telah menunggu untuk kita torehkan tinta emas. Tapi setidaknya sejarah selalu berbaik hati mengingatkan, untuk kembali melakukan perenungan bahwa sejarah selalu berulang. Maka mengambil pelajaran darinya adalah kemestian. Karena sejarah selalu di pergilirkan sementara kita akan bertemu dengan siklus perjuangan berikutnya, sebut saja untuk mempertahankan kemerdekaan dan meraih kejayaan.
Bercermin kepada sejarah, pernah tercatat  satu bukti kekuatan para penegak agama dan pembela bangsa pada  momentum  perang melawan sekutu, perang hebat yang menjadi ujian mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari usianya yang masih bayi, satu bulan dari kemerdekaan Indonesia yang masih hangat. Tersebutlah Kyai Hasyim Asy’ari  pimpinan pesantren Tubu Ireng yang berhasil  mengkonsolidasikan kekutan umat Islam juga sebagai bentuk respons kepada Bung Karno.  Inilah awal cikal bakal keluarnya Fatwa Jihad yang kemudian dikenal dengan resolusi jihad pada tanggal 17 September 1945. Yang pointnya adalah mewajibkan setiap muslim, tua, muda kaya ataupun miskin wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan indonesia.

Resolusi jihad tersebut memantik semangat umat untuk bertempur sampai titik darah penghabisan,  tak ada lagi ketakutan terhadap kematian,  karena ada nilai dari agama yang diyakini bahwa mati dalam perjuangan adalah kehormatan sebagai syahid yang meninggal dengan kemuliaan. Pertempuran tersebut yang kemudian dikenal sebagai  hari pahlawan dan patutlah mengantarkan kita pada kesimpulan untuk menguatkan kita bahwa membela bangsa tidak bertentangan dengan penegakan agama.
            Berbeda dengan seorang atheis yang kehilangan nilai dan hampa dari perjuangan yang dilakukannya. Dalam satu pertempuran perang dunia kedua, pasukan Uni Soviet yang komunis berangkat  menuju perang  terlebih dahulu melakukan desersi, alasan mereka sangat realistis. Inilah ungkapan mereka yang cukup mashyur terdengar, “Tidak ada bedanya apakah kami mati sebagai patriot pembela Negara atau sebagai pecundang yang bersembunyi di kolong ranjang, karena kami tak punya Tuhan yang akan membalas perbuatan baik kami di kehidupan selanjutnya!”.
 Memisahkan agama dan negara justru melemahkan keduanya, karena perjuangan menegakkan agama akan berpengaruh terhadap bangunan kedaulatan negara itu sendiri. Bagaimanapun, ketika kedaulatan negara terancam, semangat keagamaan bisa menjadi sumber energi yang sangat kuat untuk menggerakkan setiap orang untuk terjun memperjuangkan kedaulatan bangsa dan negaranya. Titik temu ini menjadi sangat penting dan krusial. Karena   perjuangan tanpa dilandasi semangat keagamaan, gelora perjuangan akan tampak lebih  redup jika tidak ingin disebut“sepi nilai”. Hal ini sejalan dengan firman-Nya, tentang disyariatkannya setiap muslim untuk menegakan agama dan larangan berpecah belah.
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syuro:13).
Masa melawan  penjajahan adalah bukti pewarisan semangat yang berasal dari nilai agama. Dan menjadi pemicu paling ampuh yang menggerakan rakyat Indonesia untuk melawan para penjajah, karena meraka meyakini bahwa berjuang membela bangsa bukan semata hanya untuk meraih kemerdekaan melainkan ada semangat ukhrawi yang mereka jungjung dan cita- citakan untuk menjadi seorang mujahid, pahlawan yang sekaligus “pahalawan”.
Kemudian para pahlawan telah mewariskan kemerdekaan Indonesia dengan  bhineka tunggal ika-nya yang kemudian menyatukan semua masyarakat dalam keragaman. Tetap utuh dalam sebuah jalinan keragaman yang begitu kokoh dan kuat adalah cara mempertahankan kemerdekaan dan meneruskan perjuangan dari hasil jerih payah  para pahlawan kita yang telah gugur mempertahankan kedaulatan bangsa ini hingga tetes darah penghabisan. Semangat dan gelora perjuangan semestinya tetap menjadi bagian dari bangsa ini yang terus menerus berkomitmen mengisi kemerdekaan dengan raihan prestasi.

 Pahlawan kita telah berhasil mencapai apa yang telah dicita-citakannya, kemerdekaan yang hasil perjuangan bukan pemberian hadiah seperti bangsa lain. Maka menjadi tugas besar  kita dimasa sekarang untuk meneruskan. Jika dulu perjuangan lebih diarahkan kedalam bentuk fisik melalui pertempuran di medan perang. Maka dalam konteks kekinian, setiap anak bangsa tentunya bisa mengambil peran dalam mempertahankan kemerdekaan dengan menjadi pembela bangsa dan penegak agama di abad milineal. 
Pahlawan-pahlawan baru dari berbagai bidang pendidikan, teknologi, social dan budaya, keagamaan dan bidang lainnya yang menanti kedatangan sosok – sosok pembaharu, generasi sang pembaharu yang mampu membawa merah putih ke masa kejayaannya. Kita mungkin tidak akan lagi pernah merasakan menjadi pahlawan-pahlawan pertempuran, tetapi kita masih bisa menjadi pahlawan-pahlawan pikiran  dalam beragam bidang ilmu pengetahuan dan juga teknologi. Karena membangun bangsa adalah bagian dari ekspresi kesalehan. Kita perlu bangun, bangun dari segala jebakan yang melemahkan, terlepas dari ibadah yang sekedar ritual rutinitas atau membangun yang kehilangan nilai.
Momentum kemerdekaan Indonesia sudah sepatutnya  memberikan efek kewarasan dan keinsyafan untuk seluruh elemen bangsa ini, terutama yang harus digelorakan oleh mereka yang bernama pemuda. Penjaga ibu pertiwi dan penegak agama itu melekat dekat pada bahu para pemuda. Bersatunya pemuda adalah kekuatan yang menjadi pijakan kuat bagi bangsa ini untuk menguat. Belakangan memang kita sedang dalam ujian menghadapi sekian banyak tantangan dalam hal mempertahankan keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dunia politik memainkan peranannya, memotong dan memisahkan dua kutub yang agamis dan nasionalis. Seolah kemustahilan jika ada manusia yang bisa membela bangsa dan sekaligus menegakkan agama. Pemisahan dua kutub tesebut adalah guncangan oleh beragam peristiwa yang sedikit banyak telah menjadi “riak-riak” kekuatan yang menakutkan untuk bangsa lain. Indonesia pun dipecah  dan dikotak- kotakan,  sendi-sendi pertahanan dan kesatuan bangsa sering menjadi ujian dari kaset lama dengan varian judul baru yang masih sama. Namun, dengan segenap kedewasaan berpikir dan semangat akan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan dan  menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa dapat menjadi ikatan yang kuat untuk memupuk rasa persaudaraan, toleransi dan mempersatukan visi dan misi yang sama dalam memperjuangkan kedaulatan negeri ini.  

Membangun Indonesia sama dengan  membangun peradaban dunia. Dengan keragaman budaya  dan tersebarnya pulan yang membentang di bumi pertiwi ini dengan tingkat kesulitan yang kompleks sangat wajar jika membangun Indonesia sama halnya berlatih dalam membangun peradaban dunia. Sabda Rasul  menuturkan :
“Sesungguhnya Allah melipat untukku bumi, maka aku bisa melihat ujung timur dan ujung baratnya. Dan sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang dilipat untukku. Aku juga dikarunia dua perbendaharaan ( Kekayaan) merah dan putih”. ( HR. Muslim)
Sekalipun penulis tidak bisa secara explisit mentafsirkan bahwa merah dan putih itu adalah Indonesia tetapi sebagai seorang pribumi yang dengan panca indranya bisa menyaksikan bahwa Indonesia adalah tanah yang dianugerahi dengan banyak kekayaan.  Hanya ketika kekayaan itu seolah semu karena tak berefek signifikan terhadap kemajuan Indonesia, maka PR besar bagi semua elemen bangsa Indonesia dalam pemanfaatan potensi alam Indonesia.  Karena tugas memanfaatkan potensi local dari alam Indonesia bukan semata tugas warga setempat melainkan tugas kolektif seluruh warga Indonesia dan amanah untuk para penguasa untuk mengambil kebijakan pengelolaan alam dari tanah air Indonesia. 
Menata kembali Indonesia dari benang kusut dan keluar dari debat yang tidak tepat lagi untuk diperdebatkan antara gamis atau nasionalis, karena keduanya bukanlah pilihan melainkan kewajiban. Jika para pahlawan memiliki slogan yang sampai hari ini masih terdengar slogan patriotnya, “Merdeka atau Syahid” maka hari ini kita perlu  mengambil teladan seperti slogan mereka yang bukan sekedar retorika semata. Bambu runcing mereka yang kita subsitusi dengan keruncingan fikiran kita untuk semakin mencerdaskan akal dan hati kita. Agar keshalehan kita terekspresikan untuk menjadi pembela bangsa dan penegak agama. Ijinkan penulis menutup uraian tentang Agamis dan Nasionalis bukanlah Sebuah Pilihan dengan sebuah penggalan puisi karangan penulis sendiri. Untuk sebuah penutup, sebuah sajak pilihan menjadi pengantar. 

Keluarlah dari Mihrab !
Aku percaya banyak tasbih yang teralun syahdu,
Senandung ayat - ayat cintaNya yang terlafal merdu
Juga munajat kebaikan yang lahir dari para pengetuk pintu-nya
Tapi keluarlah dari mihrabmu
Mungkin hatimu teriris melihat dua bocah bercumbuh mesra tanpa malu
Atau dagelan kehidupan yang kadang mempermainkan
Hilqng iman karena perut keroncongan.
Aku faham melawan kemungkaran itu berat, seperti aku yang kerepotan melawan nafsuku sendiri.
Tapi tetaplah belajar untuk melakukan perlawanan meski keluar dari mihrabmu.
Aku faham, soulusi perbaikan adalah tugas besar yang tak mungkin selesaid engan mengembalikan telapak tangan.
Tapi keluarlah dari ihrabmu, meski sekedar menebar salam dan senyum.

Sekali lagi, keluarlah dari mihrabmu
Usah menyangsikan kanan yang kekirian,
Kiri yang kekananan atau kanan yang kekirian.
Tugasmu adalah tetap, menyebar salam dan jadilah sebaik duta muslim.
Aku faham, jilbab atau pecimu menjadi keterkaitan yang selalu terhubung
Dengan tuntutan akhlak yang harus terjaga. Syukuri saja, jadikan ia alarm abadi untukmu.
Kamu iya kamu, keluarlah dari mihrabmu.
^^^^