Musim sedang
tak menentu, hujan bisa bertamu di bulan Mei, panas terik matahari bisa
menyinari September. Anomali cuaca tak
bisa terprediksi, ini adalah analogi yang tepat seperti lubuk fikiran Tian akan
seorang pria yang sikapnya tak mudah ia
terka. Buku psikologi itu
tergeletak di atas meja, terhitung sudah lima bulan buku itu ditangannya tetapi belum juga selesai dibaca
oleh Tian. Sebuah buku yang merupakan pemberian dari seseorang yang sering
menjadi objek untuk di terka perasaannya oleh tian. Iya, Tian sendiri merasa bosan terjebak
menjadi seorang detectif untuk sebuah misi dimana dia sendiri adalah clien-nya. Kini Alarm-nya berbunyi,
pertanda panggilan tugas datang. Dan Tian tak pernah seantusias ini sebelumnya
dalam menyelesikan projek, hanya satu alasan yang membuatnya semangat 45 dalam
bekerja, dia.
“ Ti, ini
draft rancangan yang aku buat. Aku minta masukan kamu yah, udah oke atau harus
ada revisi?” Tanya Diman.
“Menurutku
yah, point tentang usulan pemberdayaan bisnis untuk napi itu bagus tapi kurang greget, kamu
seharusnya menambahakan point studi kelayakan bisnisnya” jawab Tian
“Jangan
tangung – tanggung dong kalau ngasih jalan orang, jangan seremonial doang
nolonginnya, biar kerjanya
berfaedah!”Cetus Tian
“Wah sekarang
ucapanmu makin menukik yah, aku jadi
merasa seterdakwa itu dech. Padahal aku cuma memperiapkan diri agar tidak sakit hati, sedih tahu kitanya
mati – matian merjuangin mereka, eh merekanya malah antipati untuk
memperjuangkan diri mereka sendiri
!”Timbal Diman
“Jangan
pesimis gitu lah, domain kita kan ikhtiar. Masalah hasil kita serahkan aja sama
Allah”! Jawab Tian
“Duh partnerku
ini daebak bangetlah, udah baik, rajin menabung dan tidak sombong, kalau gitu
studi kelayakan bisnisnya kamu yang tambahkan yah !” Ujar Diman
“Pujian anda modus sekali. Kalau niat
ngasih perintah, to the point aja !” Jawab Tian.
######
Siang itu, Tian pun membereskan perintah
yang datang atas usulnya. Sesekali
kelebat bayang pria itu muncul di layar laptopnya. Fikirannya tak bisa utuh
untuk focus mengerjakan tugasnya. Dalam hal itulah, dia seringkali menyelisihi
dirinya sendiri. Kenapa dia? Seseorang yang seumuran dengannya hanya terpaut 5 bulan
kesenioran dia didunia tetapi menjadi junior atau adik tingkat di kampus Tian dulu. Dan sekarang
menjadi satu rekan kerja denganya, dan hal itu jelas menjadi alasan kenapa Tian
menyanggah sendiri perasaannya itu, karena memang pria itu tak masuk dalam daftar kriteria yang seringkali
Tian cetuskan. Obrolan dengan Bahasa aku – kamu tadi menandakan kedekatan yang
lebih terjalin erat, sebuah hubungan yang menguat seiring seringnya mereka
berdebat. Dan sudah menjadi lumrah,
yang menyaksikan seringnya Tian berdebat
dengan sosok pria itu justru mengundang cie – cie efek, seisi kantor sibuk
menggosipkan hubungan yang tidak jauh dari tikus dan kucing itu. Tanpa mereka
fahami bahwa desas- desus yang mereka layangkan adalah pemantik munculnya riak
– riak rasa di hati Tian. Karena sedari mengenal sosok pria itu dikampusnya
dahulu, tak pernah ada perasaan sedikit pun. Tian merasa hadirnya perasaan itu
seperti asap yang tak mungkin datang tanpa undangan api. Apinya bisa jadi
adalah debat – debat yang tak berfaedah itu, pemantik sumbunya adalah rekan –
rekan kantor yang sering men-cie-cie-kan
mereka berdua. Sesekali Tian acapkali merasa satu frekuensi denganya atas riak
perasaan itu, hanya tak pernah ada konfirmasi kebenaran itu dari objeknya yang
bersangkutan selain konfirmasi kecocokan menurut rekan -rekan kerja
sekantornya.
“
Jadi Gimana?” Kali ini tanya dari Mira, sahabat dari zaman ketika Nokia merajai
pasar Handphone sampai Samsung unggul karena Androidnya yang sekaligus rekan
kerja Tian dan otomatis sangat hafal tentang kehidupan Tian.
“Tinggal
aku revisi sedikit Mir, bentar lagi juga beres !” Jawab Tian
“Maksudku
bukan itu, tapi dia?” Tanya Mira
“Dia
siapa?” Polos Tian
“Tahu
dah yang dianya banyak. Dia yang mana aja dah gue dukung. Mau Diman kek, mau
Rudi kek, atau dia dari pihak ketiga
lainnya juga gue dukung dah !” Cetus
Mira
“
Sensor dikit napa kalau ngomong?” Sergah Tian
“Sory,
sory keceplosan hehe”.
####
Tian mengerti tentang muara dia yang
tadi pertanyakan oleh sahabatnya. Usia Tia kini menginjak 25 bilangan ganjil
yang masuk dalam kaidah umum untuk segera di genapkan. Tentang dia yang menjadi
pertanyaan Mira tadi adalah hal yang juga dipertanyakan juga olehnya. Kali
tadi, Mira yang sempat menyebut sosok pria bernama Rudi. Tian yang hanya
mengenali sosok itu sebagai kakak tingkatnya dulu, tak banyak hal yang ia kenal darinya, karena
saat dia menjadi maba, Rudi telah dinyatakan lulus sebagai mahasiswa.
Tian hanya bertegur sapa dengan sosok
itu saat projeknya berkerjasama dengan perusahaan dimana Rudi berkerja. Dan
dari perantara Mira sahabatnya itu, Tian mendapatkan informasi bahwa Rudi
menaruh hati pada Tian dan berkeinginan untuk melangkah ke arah serius bersamanya. Hanya Rudi meminta komfirmasi
perasaan Tian kepada Rudi melalui Mira. Jika gayung tersambut, tak menunggu
lama, diminta detik itu juga Rudi akan bergegas mendatangi kediaman Tian. Sementara Tian, terus mengulur- ngulur, tanpa
memberi aba- aba mengiyakan atau menolak. Tian berlindung dibalik kata, lelaki
harus siap dengan segala koensekuensi. Jangan hanya melangkah karena searah,
jika benar miliki niat dan kesungguhan, buktikan. Mira acapkali mempertanyakan,
adakah itu alibi karena bisajadi kecendrungan Tian lebih dominan kepada Diman atau
Tian memang benar – benar mengingikan bukti kesungguhan? Sedang sementara
jikapun Rudi memperlihatkan kesungguhan, Tian belum tentu akan memberikan
kepastian akan menerimanya, belum tentu Tian mau dan nyaman dengan perlakuan
yang itu adalah bukti Rudi ingin serius dengannya. Karena Mira hafal watak
Tian, yang cendrung anti relationship dan nyaris tak pernah menjalin hubungan
yang namanya pacaran. Dan Tian pun kini dihadapkan dengan orang - orang yang
serupa pula dengannya. Baik Rudi ataupun Diman tak punya record sebagai lelaki
yang pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis. Tiba – tiba dering handphone
Tian berbunyi, kali ini dari Rudi. Obrolan pun mengudara.
“Assalamu’alaikum
Tian, apa kabar?”
“Wa’alaikumsalam,
Alhamdulillah baik kak, ada apa yah kak?” Timpal balik yang disesali oleh Tian,
pertanyaan ada apa seperti mengindikasikan bahwa seseorang itu bisa
berkomunikasi jika memiliki keperluan.
“Hmm,
jadi gini, hhmmmm… Kakak kan punya adek ini, kamu bisa ngasih privat gak buat
dia?”
“Privat
apa kak, duh Tian gak Expert kalau ngasih privat gituan!” Rendah tian
“Privat
Akuntansi, atau mapel lainnya. Kakak percaya lah sama kamu Ti, secara lulusan comloude !
“Eh
seriusan kak, Tian gak Expert apalagi ditambah mapel lain. Kenapa engga di
masuk-in ke Lembaga privat aja, lagian kata siapa aku comloude,
hoak itu !” sergah Tian.
“Hmmm…jadi
hmmm …Anaknya gak mau kalau masuk
Lembaga privat, Terus kamu itu emang dulunya comlude, kakak tahu itu “
“Kenapa
gak mau masuk Lembaga privat kak? Eh itu siapa sih yang nyebarin berita hoak?”
“Adenya,
hmmm belum nemu Lembaga privat yang cocok…Suara lain muncul mengudara dan
terdengar oleh Tian “ Kata siapa?”Suara anak perempuan yang diprediksikan Tian
adik Rudi. Kemudian, sedetik kemudian
Rudi pun melanjutkan, “ Jadi gimana Ti, kamu gak bisa aja nih?” setelah jawaban
sama keluar, sambungan telepon pun berhenti.
#####
Seperti kebiasaannya yang sudah mafhum,
makan siang ini Tian habiskan dengan bercerita tentang telepon Rudi untuk
permintaan privat itu kepada sahabat karibnya, siapa lagi kalau bukan Mira. Tak
peduli makanan yang dipesan telah habis,pun
tak peduli dengan jam istirahat kantor siang yang telah berakhir, ada
keleluasan tempat dimana mereka bekerja, jika proyek selesai ritme kerja pun
bisa senggang. Menjadikan Tian pun asyik bercengkrama Bersama Mira dan tak
bergegas dari café tempat hangout
mereka. Beberapa kali Mira meyakinkan bahkwa tindakan Rudi bukan semata sedang
mencari guru les privat melainkan bentuk usaha pendekatan kepadanya, dan itu
adalah satu hal yang pernah diminta olehnya, tentang usaha bahkan sebelum kunci
jawaban iya atau tidak didapatkan. Meski benar pula, yang di sangsikan oleh
Mira. Tipikal Tian tidak akan nyaman didekati by design seperti permintaan privat yang ketahuan “di-ada-adakan”
itu.
“Jadi
sekarang keputusanmu gimana, mau menunggu kepastian dari dia atau memberi
kepastian kepada dia apapun jawabannya?”
Tanya Mira
“Entahlah,
Mir !” Desah Tian
“Aku
tahu kamu sepertinya menunggu kepastian dia, yekan? Baiklah, aku sepertinya
harus turun tangan membantumu ”Ucap Mira
Wajah kebingungan Tian makin nampak,
Tian memberikan kode untuk tidak melakukan hal aneh pun tidak digubris oleh Mira, dia beranjak
meninggalkan kursinya sembari berkata “ Tenang, namamu aman . aku jamin, Bye !”
^^^^
Tanpa
basa - basi dan pengantar apapun, Mira membuka obrolan kepada Diman tanpa
merasa bersalah sedikit pun. “Di, punya niat gak sih sama Tian?”
“Niat
apa? Niat mensukseskan setiap proyek, punyalah !” jawab Diman dengan polosnya.
“Jangan
so naiflah, seriusan gue nanya punya niat serius gak sama Tian, gue sebagai
sahabatnya ngedukung kalau loe beneran jadi sama dia. Tapi, kalau loe emang gak
punya niat sama doi, gue mau jadi timses
untuk orang lain. Asal lo tahu, ada orang lain dan clue-nya dia baik punya niat
serius sama Tian. Kalau lo gak mau kesalip atau jadi tamu undangan, mening
buruan beraksi kecuali emang lo samasekali gak punya niat ke arah itu !”.
“Banyak
hal yang harus aku persiapkan dan pertimbangkan , menikah gak semudah itu
Esmeralda !”
“Nunggu
siap itu kapan siap nya Ferguso, pertimbangan apa? Atau jangan – jangan memang
lo gak punya niat yah sama Tian ?”
“Aku
masih harus selesai dengan diriku sendiri dan juga memastikan atas perasaanku
sendiri, Mir !”
“Fiks,
lo jangan nyesel yah kalau jadi tamu undangan !”
####
Tian berulang kali membaca WA yang ia terima dari Rudi, dari pesan yang
diterimanya. Rudi mengakui bahwa permintaan guru privat itu hanya alasan klise
untuk sebuah pendekatan, agar tak mengulangi rasa pecundang itu pada akhirnya
desas – desus bahwa Rudi menaruh hati padanya dikonfirmasi langsung oleh Rudi. Dia menyatakan bahwa dia memang menyukainya dan bukan sekedar suka
melainkan berniat untuk meminangnya. Tian tak perlu menjawab pesan WhatsAppnya,
apapun jawabannya akan siap ia terima secara langsung saat Rudi mengunjungi
rumahnya tiga hari setelah pesan WA ini diterima olehnya.
Kali ini komfirmasi itu datang, bukan
lagi desas – desus yang saling berseliweran itu. Meski bukan Diman, tapi entah
mengapa untuk pertama kalinya Tian
merasa tersanjung dan bahagia atas pernyataan Rudi. Atas rasa yang ia
definisikan terhadap Diman, atas rasa haru dari kejujuran Rudi, Tian muarakan
peraduannya pada Rabb- nya.
Entah mendapat angin darimana Tian
tergerak untuk menyelesaikan buku psikologis, pemberian Diman itu. Bukan, bukan
karena Tian terasuki kembali oleh bayangan Diman. Kali ini murni karena Tian
ingin mencari konten psikologi dari buku tersebut. Lambat laun Tian pun membuka
lembar demi lembar buku tersebut. Saat sampai di sub bab tentang ilusi rasa,
Tian begitu menikmati dan meresapi isi dari buku tersebut, buku yang membawanya
berani untuk menyimpulkan bahwa rasa yang ia terjemahkan pada Diman, bisa jadi
hanya sekedar ilusi. Ada, karena ditumbuhkan dan tak ada rasa yang datang
dengan sendirinya, ia merupakan rangkaian keputusan dari insan yang mengelola
rasa itu sendiri. Jika demikian, Tian pun besar sangat mungkin bisa membuat
keputusan untuk mencintai Rudi. Setidaknya Tian memiliki alasan untuk
memutuskan mencintai Rudi dengan kejujuran dan keberaniannya. Dengan hari mendekati kedatangan rudi,
kemantapan hati itu semakin terkuatkan. Sampai pada moment ayah Tian
menyerahkan jawaban sepenuhnya kepadanya, anggukan kepala sebagai penerimaan
pun didapatkan oleh Rudi, satu hal diluar estimasinya. Padahal yang
terbayangkan oleh Rudi adalah penolakan, sempat terfikir untuk membatalkan
kedatangannya, hanya dia berpegangan pada ucapannya sendiri. Seorang pria
adalah ia yang memegang kata – katanya.
Kabar itu pun sampai pada Mira,
sahabatnya. Mira langsung mengkomfirmasi kabar itu dengan mendatangi Tian,
seperti depkoletor yang menagih seseorang untuk bercerita terus terang sebagai
pembayaran hutang. Setelah Mira mendapatkan yang ia mau, kali ini giliran Mira
menyampaikan hal yang kLunch dari pertemuan secara
langsung itu. Dan ternyata ada kelanjutan komfirmasi yang Diman berikan
kepadanya melalui WhatsApp, niat keseriusan itu memang belum ada, pertama
karena dia merasa belum siap untuk melangkah serius ke jenjang pernikahan dan
yang kedua prihal rasa, bahwa bukan Tian yang ada dalam hatinya melainkan
dirinya sendiri. Iya, ternyata Diman menyukai Mira. Dari penuturannya Diman
memang sempat merasa menyukai Tian, tapi ragu atas perasaannya sendiri karena
bisa jadi terbawa suasana dengan seringnya rekan kerja mereka yang men-cie-cie-kan.
Kemarin berusaha ditutupinya dengan perjanjian awal bahwa
apapun yang ia sampaikan tak boleh menggangu keputusan Tian ataupun berbalik
memusuhi entah Diman ataupun dirinya. Ia menceritakan prihal saat dirinya meminta
komfirmasi perasaan Diman untuk Tian. Mira mereka ulang pertanyaan dan jawaban
pasca
“Ti, jangan kecewa yah dengan apa yang
aku sampaikan, semoga kamu selalu berbahagia selalu dan tidak membenciku!”
“Selow sis selow, never mind. Aku
sekarang bahagia dengan keputusanku.
Mana bisa sih aku membencimu. Justru jika kau pun menyimpan rasa yang
sama, jangan ragu untuk meyakinkannya biar kita nikahnya barengan wkwkwkw “
Canda Tian menggoda Mira
“Pernah kefikiran punya rasa sama si
Diman juga gak pernah, kaget sendiri dengar dia punya rasa, mungkin kejedor
kali kepalanya sampai bisa korslet begitu wkwkwk !”
“Jangan gitu Mir, aku juga gitu tadinya.
Tapi sekarang entah punya keyakinan darimana kalau kita berrdua saling
mencintai wkwkwk !”Timbal Tian.
Teka – teki sayang itu akhirnya
terpecahkan. Bahwa rasa menyanyangi, rasa mencintai adalah rangkaian dari
keputusan untuk menyanyangi. Iya, karena cinta adalah keputusan.
