Sepenggal Kenangan

Anak-anak d3 pasti ngalamin stuck moment kaya gini.
"Kagok ath, kenapa gak ambil S1 ajah sekalian?"
Kira- kira begini kali yah pilihan ganda sebagai jawaban yang cocok untuk pertanyaan diatas
A. Takdir
B. Biar cepat lulus
C. Biar cepat nikah
C. Semua jawaban benar
Yups. Bener sekali, survei membuktikan jawaban paling benar adalah D, gado - gado alias rupa - rupa alasan melatarbelakangi kami memilih menjadi pejuang diploma. Karena satu alasan tak cukup membuatmu mengambil kesimpulan, hahassikk..

Stuck moment kedua yang teralami oleh diri pribadi adalah tidak memiliki minat untuk menjadi profesional bankir tapi mengambil studi jurusan keuangan perbankan. Dan usut punya usut satu,dua, empat
( woi tiganya kelewat) teman sekelas pun mengalami hal yang sama, jadi yah wajarlah semangat belajarnya up..up..down..down..down..down..
down..down..
Terjun payung melesat kebawah..Maba masih bisa idealis harus lulus comloude, tingkat dua mulai merasa salah jurusan dan kemudian tingkat akhir yang penting lulus wkwkwkkwk...
Tapi sesalahnya tersesat jurusan, banyak kenangan yang masih saja berkelabat hangat dalam ingatan.
Moment saat praktikum bankir yang mewajibkan setiap kelompok seragaman, karena saya dan kawan-kawan sekompok mahasiswa yang menerapkan teori motif ekonomi bahwa segala sesuatunya dilakukan dengan biaya yang sekecil mungkin untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Alhasil karena kami pun mengenakan kaos panitia OSMA (Ospek) karena kebetulan yang mendukung, anggota kelompok semua aktif sebagai mahasiswa yang juga berorganisasi.
Dua diantara moment berikutnya yang selalu terngiang dalam ingatan adalah saat tugas persentasi metlit. Yang dilaksanakan bada UAS teeakhir sebagai penjuang diploma. Kecerobohan saya terulang, tugas maha penting itu tertinggal di rumah dan amat sangat merusak konsentrasi dari dua matkul yang diujiankan. Saat selesai mengerjakan, serusuh mungkin tancap gas ke rumah untuk mengambil tugas karena kesulitan saat meminta tolong orang rumah untuk mengambil dan membawakannya ke kampus. Tapu eh tapi saat sampai di kampus, nuansa galau karena korban PHP itu mulai tercium. Hitungan menit berlalu, sang dosen yang di tunggu tak kunjung data. Akhirnya kami pun melampiaskannya dengan fhoto bersama.

Gantung pena-nya Tere Liye, Antara Hobi atau Profesi?

Setelah lama tak memantau laman FB, shocking terapi muncul saat membaca postingan tentang Tere Liye yang bersepakat dengan Penerbit untuk tidak akan mencetak lagi buku karya Tere Liye. Why? Usut punya usut beban pajak yang diberikan kepada penulis sangat tinggi, bahkan penulis dengan royalti rendah pun terkena pajak, misal karya tulisan majalah  yang bilangannya bukan jutaan, pada digit seratus pun kewajiban pajak tidak menjadi gugur. Bahkan melebihi ketentuan zakat yang 2,5%. Jadi beginilah Indonesia yang pendapatan tertingginya dari sektor pajak, jadi kalau misalnya dinegara kita terjadi gerakan mangkir pajak bisa dipastikan negara kita akan seperti judul buku Tere Liye, negeri di ujung tanduk. Proud untukmu wahai para penggiat literasi, kalian adalah salah satu sumber pendapatan negara.

FYI, Tere Liye tak menjadikan penulis profesi utamanya. Sudah kita ketahui bersama beliau adalah seorang akuntan  profesional, meskipun saya pribadi tak mengetahui dengan pasti penghasilan dari profesinya sebagai akuntan tapi melihat sepak terjangnya sebagai penulis kenamaan, mencetak banyak buku best seller sangat tidak mungkin penghasilan dari menulisnya sangat tinggi dan (mungkin yah) bisa melebihi penghasilannya sebagai seorang akuntan. Keputusan ini diambil dalam upaya kritik pedas untuk pemangku kebijakan agar ada kebijaksanaan dalam keputusan bukan malah bijak sana, bijak sini yang lain kena bajak hehe..
Dari keputusan Tere Liye ini, mungkin saya mengambil hipotesis bahwa Tere Liye memang menulis dari hati atau bisalah dikatakan sebagai hobi yang dibayar bukan sebagai profesi meskipun beliau profesional bahkan mastah dalam per-novel-an. Pantas saja, yang datang dari hati akan diterima pula oleh hati. Tapi bukan satu kesalahan pula, ketika menjadikan tulisan sebagai jalan menyambung hidup. Temukan titik temu antara hobi dan profesi. Hanya terkadang ketika pilihan profesionalitas terambil, ada koensekuensi yang harus diikuti. Menulis dengan selera pasar, disini ranah industri bermain. Memenangkan hati pasar menjadi kunci.

So apapun yang terjadi,  untuk hobi ataupun profesi tetaplah menulis dari hati.