Kali ini mood saya tertarik membahas perkara berat, saking beratnya sering menggalaukan jomblo sejagat raya. Seriusan, perkara ini bukan masalah remeh temeh, mudah untuk menjadi topik obrolan, bahan tegur sapa yang empuk dijadikan canda tawa nan mencairkan, punch line asyik mengundang Gerrr berantakan meski terisi hati dengan tanya kapan, kapan dan kapan? tapi sayangnya ini perkara yang rrrrrruar biasaaaa, perjanjian agung yang bahkan terakui sakral oleh Al-qur'an. Menuntut diri dalam pembelajaran yang rumit, lebih rumit berkali-kali kuadrat dari trigonometri yang njlimet itu. Bahkan saat ijab sah terikrar, proses belajar tiada pula mengenal kata ending. Yups betul sekali, pernikahan.
Setiap orang mungkin memiliki impian akan pernikahannya, sudah buang CD Drakormu kalau yang menghiasi benakmu masih berkutat, sosok pangeran nan rupawan yang baik hati dan bangsawan. Opa, hidup ini tak seindah drama korea. Dan aku persempit ruang racikan kata dalam tema ini, pernikahan yang kita upayakan sebagai jalan para mujahhid mencetak arsitek peradaban.
Wahai kita yang berada dipersimpangan jalan, kita yang mengupayakan diri menjemput pernikahan dengan keberkahan. Mengisi ruang penantian dengan sebaik wasilah mendatangkan kebaikan. Mari bersama menghilangkan ragu, yakinlah pernikahan yang kita jemput ke-barokahan-nya bukan membeli kucing di dalam karung. Iya, harapan kita tinggi bahwa puncak pernikahan yang kita ndaki, bukan sekedar mengubah status dari single menjadi doeble. Tapi menggenap dalam agama dengan jalan sunnah tanpa proses yang di haramkannya menuju cintaNya.
Aku selalu kagum kepada mereka yang diperkenalkan oleh lembaran kertas, bertemu pertama kali ketika nadhor dan yang kedua pada akad. Sama sekali tidak mengenal sebelumnya, seolah ada yakin yang menggerakan bahwa dia adalah yang tertakdirkan. Aku pernah merasa diintipi tamu yang bernama ragu. Berspekulasi pada waktu yang belum terwujud, nanti esok yakinku itu hadir dariNya ataukah dari nafsu?oh iya, lembaran kertas itu mampukah merepresentasikan diriku sebenarnya? ada banyak kurangku yang belum tertuang disana, mungkin pula nanti lembar kertas yang ku terima tak jauh bedanya, hanya sepersekian persen gambaran utuh dari Mr. X itu. Terhempaslah hush, hush sana. Akan kucoba memegang yakin bahwa pernikahan itu bukan membeli kucing dalam karung. Iya, aku si akhawat nakal ini masih ingin menjemput jodoh tanpa mengundang murka. Toh dengan jalan pacaran sekalipun watak asli akan nampak terlihat jelas setelah ijab sah terikrar.
Jalan Independet? Oia ini pun fenomena yang seolah menjadi jalan alternatif berikutnya, tanpa proses tukar kertas tapi cus langsung datangi objek. Tapi ingat yah ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Jangan PMDK, Penjajakan Mulu Jadi Kagak apalagi pacaran yang berkedok dengan taaruf. Tapi kita akhawat, gengsi dong ngedatengin langsung? Mari bercermin dari Bunda khodijah yang menjadikan Nafisah pihak yang menyambungkan ketertarikannya kepada Rasul. Begitulah ibrah mengisahkan, jodoh kita memang telah ditentukan tapi kitalah yang menetapkan jalannya. Aku tak pernah memvonis bahwa pernikahan yang barokah hanya dengan jalan pertukaran kertas. Ada banyak jalan menuju roma, selama kita mengambil jalan yang tidak menyesatkan Insya allah semoga barokah tetap menyertai.
Setiap orang mungkin memiliki impian akan pernikahannya, sudah buang CD Drakormu kalau yang menghiasi benakmu masih berkutat, sosok pangeran nan rupawan yang baik hati dan bangsawan. Opa, hidup ini tak seindah drama korea. Dan aku persempit ruang racikan kata dalam tema ini, pernikahan yang kita upayakan sebagai jalan para mujahhid mencetak arsitek peradaban.
Wahai kita yang berada dipersimpangan jalan, kita yang mengupayakan diri menjemput pernikahan dengan keberkahan. Mengisi ruang penantian dengan sebaik wasilah mendatangkan kebaikan. Mari bersama menghilangkan ragu, yakinlah pernikahan yang kita jemput ke-barokahan-nya bukan membeli kucing di dalam karung. Iya, harapan kita tinggi bahwa puncak pernikahan yang kita ndaki, bukan sekedar mengubah status dari single menjadi doeble. Tapi menggenap dalam agama dengan jalan sunnah tanpa proses yang di haramkannya menuju cintaNya.
Aku selalu kagum kepada mereka yang diperkenalkan oleh lembaran kertas, bertemu pertama kali ketika nadhor dan yang kedua pada akad. Sama sekali tidak mengenal sebelumnya, seolah ada yakin yang menggerakan bahwa dia adalah yang tertakdirkan. Aku pernah merasa diintipi tamu yang bernama ragu. Berspekulasi pada waktu yang belum terwujud, nanti esok yakinku itu hadir dariNya ataukah dari nafsu?oh iya, lembaran kertas itu mampukah merepresentasikan diriku sebenarnya? ada banyak kurangku yang belum tertuang disana, mungkin pula nanti lembar kertas yang ku terima tak jauh bedanya, hanya sepersekian persen gambaran utuh dari Mr. X itu. Terhempaslah hush, hush sana. Akan kucoba memegang yakin bahwa pernikahan itu bukan membeli kucing dalam karung. Iya, aku si akhawat nakal ini masih ingin menjemput jodoh tanpa mengundang murka. Toh dengan jalan pacaran sekalipun watak asli akan nampak terlihat jelas setelah ijab sah terikrar.
Jalan Independet? Oia ini pun fenomena yang seolah menjadi jalan alternatif berikutnya, tanpa proses tukar kertas tapi cus langsung datangi objek. Tapi ingat yah ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Jangan PMDK, Penjajakan Mulu Jadi Kagak apalagi pacaran yang berkedok dengan taaruf. Tapi kita akhawat, gengsi dong ngedatengin langsung? Mari bercermin dari Bunda khodijah yang menjadikan Nafisah pihak yang menyambungkan ketertarikannya kepada Rasul. Begitulah ibrah mengisahkan, jodoh kita memang telah ditentukan tapi kitalah yang menetapkan jalannya. Aku tak pernah memvonis bahwa pernikahan yang barokah hanya dengan jalan pertukaran kertas. Ada banyak jalan menuju roma, selama kita mengambil jalan yang tidak menyesatkan Insya allah semoga barokah tetap menyertai.