Ketika sang Arsitek peradaban bernama wanita

Ketika sang Arsitek peradaban bernama wanita




Tak terbantahkan lagi bahwa sang arsitek peradaban itu bisa juga bernama wanita,bukan karena semata darinya  lahir setiap orang-orang hebat itu yang kelak akan mengubah dunia tapi bagaimana peranannya baik sebagai madrasah pertama dalam miniature peradabannya (red;Kelarga )atau peranannya langsung di medan juang baik dalam ranah  social,pendidikan,politik,budaya dan atau yang lainnya.Dan inilah kehebatan seorang wanita.Ketika tangan kanannya menggendong ayunan maka tangan kirinya mampu mengguncang dunia.Peranannya tadi tak menjadi mengapa karena dunia wanita tak hanya sebatas Sumur,Dapur dan Kasur selama kaidahnya terpenuhi bahwa kewajiban yang satu tak harus meninggalkan kewajiban yang lain.Maka dalam konteks kekinian Almarhumah Ustadzah Yoyoh Yusroh dengan belasan anaknya yang hafidz patut di jadikan role mode bahwa peranan ia di kancah politik,social dan atau yang lainnya tak menelantarkan peranannya di kancah domestic(keluarga).
Berbicara masalah ke-berpartisipasian-nya seorang wanita,maka penulis ingin mengajak kepada dunianya para akhwat yang kita sebut sebagai “ akhwat haraki” karena memang inilah yang sedang  penulis alami terlepas.Adapun tadi paragraph diatas adalah sebuah pengantar dan karena penulis sendiri belum merasakan peran-peran diatas insya allah akan.hehe.Tentu diskursus singa jalanan vs akademisi sudah sangat familiar, di setiap kampus diskusi ini selalu menjadi kajian panas para mahasiswa. Untuk para singa jalanan, aksi adalah keharusan seorang mahasiswa, jas almamater mereka wajib terkotori debu jalanan juga tetes keringat terik matahari. Tapi untuk akademisi, IPK comlude adalah wajib, ia akan menjadi catatan kebanggaan ketika di kenang juga persembahan terbaik untuk keluarga tercinta. Keduanya tak salah, menjadi singa jalanan tak mengapa asal kewajiban menuntut ilmu jangan sampai terabaikan karena ada beberap tipikal aktifis yang begitu kuat di pergerakan sampai ia rela di DO oleh kampusnya sendiri meski  beberapa alumnus yang mengalami hal tersebut memang bisa membuktikan bahwa mereka bisa mencapai tangga kesuksesan tanpa gelar di belakang nama mereka juga tanpa lembar ijazah.Namun di era ini, anekdot DO fii sabillillah sudah tidak relevan dan mulai harus terganti dengan Comlude Fii Sabilillah ini menjadi catatan sendiri untuk para mahasiswa tipikal studi Oriented agar tak hanya sekedar lembar IPK dan izasah saja yang dikejar, harus ada nilai lebih agar lembar ijazah tak sekedar kertas kelulusan semata tapi bagaimana mereka bisa menghasilkan karya dari ide dan gagasan dari buah pemikiran mereka yang bisa bermanfaat untuk masyarakat. Sebenarnya kombinasi yang pas untuk mahasiswa tipikal studi oriented yang juga berorganisasi, selain pembelajaran agar semakin cerdas dalam memanage waktu juga dalam menerpa ide dan gagasan mereka agar menjadi sebuah karya yang memiliki nilai jual. Mahasiswa yang berkreatifitas tinggi dan memiliki ide dan gagasan terkadang menjadi buntu ketika mereka tidak memiliki skill dalam berjejaring atau skill organisatoris sehingga ide mereka stag nan di tempat.Lalu peran lain missal sebagai politikus wanita adakah sama dengan peran kita sebagai seorang akhwat Haraki?Tentu berbeda jika eksekutif wanita itu berpolitik praktis dan yang memiliki power dalam menentukan kebijakan sesuai dengan yang dimandatkan kepadanya maka kita sebagai seorang akhwat haraki berpolitik nilai dengan mandat kita sebagai seorang mahasiswi yang memiliki kekuatan sebagai penyangga pemerintah yang sering kita sebut sebagai agent of Change.Entah itu posisi kita sebagai oposisi ataupun mitra.Berbicara masalah ini menarik memang kita selalu tajam memposisikan diri sebagai oposisi,selalu peka terhadap hal apapun yang bisa kita kritisi tapi yang  tak boleh dilupakan adalah tanda cinta kita juga tak hanya mengkritisi penyimpangan yang ada tetapi juga melakukan kerja-kerja sebagai mitra dalam rangka perbaikan.
Well mungkin pada paragraph kedua masih terasa normative yang menggambarkan sebuah keadaan ideal yang diinginkan juga oleh kita sebagai seorang akhwat haraki,oke sekarang kita bahas suka dukanya seorang akhwat dalam pergerakan.Diantara kita sebagai seorang akhwat banyak yang menemukan ketidaksebandingan diri antara kapasitas dan amanah yang ada.Setidaknya itu yang penulis alami atau pernah penulis baca pada sebuah  artikel yang bertajuk” Akhwat think slow,move slow” eits  yang merasa tidak seperti itu jangan mendemo, karena bukan saya penulisnya hehe.Tapi mungkin ada benarnya juga ketika seorang wanita yang notabenenya memiliki sensifitas perasaan tinggi bergelut pada sebuah pergerakan yang penuh dinamika dan menuntut mengedepankan pikiran jadi harap di maklum ketika ada loading yang terjadi setidaknya itu proses baginya untuk menyamakan frekuensi.Tapi terkadang masalah ini juga tak hanya milik akhwat,pada sebagian  ikhwan pun mengalami masalah tadi.
Afwan  saya lupa kita belum mendefinisikan siapakah akhwat haraki itu??adakah ia yang memakai sandal gunung,atau bidadari dunia beransel?hehe.Terasa naif jika kita mendefinisikanya hanya secara dhahirnya saja karena bisa jadi akhwat yang bergaun anggun yang tak bersendal gunung dan tak pula beransel memiliki kapasitas yang memadai untuk ada dalam sebuah pergerakan.Dan ini yang menjadi pertanyaan khususnya bagi penulis pribadi,kapasitas apa yang harus dimiliki agar ketidaksebandingan diri ini bisa tereliminasi?Ada asumsi penyebab munculnya ketidaksebandingan diri bisa jadi karena pemahaman,belum mengenal potensi diri atau yang ketiga ruh dakwah kita yang tak ada,semoga bukan pada yang ketiga ketika penulis pribadi merasakan ketidaksebandingan ini terjadi tapi bisa jadi ketika kita memiliki ruh yang tinggi tak di berangi dengan pemahaman dan potensi diri ini bisa melemahkan ruh dakwah kita yang akhirnya memilih wasilah lain sebagai jalan juang atau yang lebih menakutkan adalah keluar dari segala wasilah jalan dakwah.Dan ini yang pribadi takutkan maka kepada pembaca sebagai penutup dari tulisan ini yang alurnya bertabrakan antara curcol dan eksporasi(afwan jika tak nyambung)doakan penulis untuk tetap istiqamah berada pada jalan cinta para pejuang(Red KAMMI) dan lebih bisa memimilih untuk memekarkan diri bersama bunga haraki sampai akhirnya PR pun terselesaikan yakni bisa mendefinisikan untuk indonesia dengan kerja dan cinta. ^_^
Salam perjuangan…..dari wanita untuk Indonesia…Allahu akbar!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!